Minggu, 21 Agustus 2011

Muna Bukan Hanya Jati

Pada sebuah kapal. Di frasa itulah
kisah tentang manusia Pulau Muna,
pulau di tenggara kaki kiri Sulawesi,
diperkirakan bermula. Ketika
Sawerigading, tokoh asal Kerajaan
Luwu Purba di Sulawesi Selatan yang melegenda (dalam epik I La Galigo),
sedang mengembara mencari
kekasihnya sebagai pengganti
saudari kembarnya yang terlarang
untuk dinikahi, We Tenriabeng,
perahunya terdampar di sebuah gundukan daratan setelah
menabrak batu karang.
Sawerigading terus melanjutkan
perjalanan ke negeri Cina,
sedangkan para awak kapalnya,
yang berjumlah 40 orang, kemudian membuat koloni di pulau yang
didominasi batuan kapur itu.
Oleh mereka, daerah tempat
terdamparnya kapal itu kemudian
dinamai Bahutara, yang berarti
bahtera. Karena di daerah berbatuan karang itu secara ajaib sering
tumbuh bunga-bunga yang indah
pada musim-musim tertentu,
dinamailah oleh mereka daratan
pulau itu sebagai Kontu Kowuna,
dengan kata kontu yang berarti batu dan wuna yang berarti bunga.
Lambat laun, Wuna berubah lafal
menjadi Muna, dan para pengikut
Sawerigading yang terdampar
menamai diri mereka sebagai suku
Muna, dan daratan berbatu serta berpasir itu mereka sebut Muna.
Kisah itu saya dengar di atas kapal
Sagori Express yang sedang melaju
di Laut Banda, di pesisir timur
Konawe Selatan, menuju Pulau Muna
dari tuturan Ali Musthapa. Pak Mus-- begitu saya memanggilnya--pria 40
tahunan, adalah penduduk asli
Muna. Ia pegawai negeri di salah
satu instansi di Raha.
Ini akhir Mei 2008 yang panas, dan
perjalanan tiga setengah jam dari Pelabuhan Nusantara di Teluk
Kendari seolah mengantar saya ke
dinamika panjang pulau yang
terkenal dengan sejarah kerajaan
berabad-abad, kolonialisme Hindia
Belanda, komoditas jati nomor satu, peninggalan prasejarah berupa cap
tangan dan gua-gua manusia
purbakala, danau-danau air asin di
daratan, festival layang-layang,
sampai atraksi adu kuda.
Perjalanan yang sungguh tidak membosankan karena saya dapat
menikmati hijaunya pulau-pulau
kecil membukit yang tersebar di kiri-
kanan, permukiman penduduk di
rumah panggung atas air laut yang
biru cerah, serta awan yang menembuskan sinar matahari secara
indah.
Muna adalah toponim sebuah pulau
(dan identitas etnis). Tapi anehnya,
secara administratif, Pulau Muna
dibagi menjadi dua kabupaten: Kabupaten Muna di wilayah utara
pulau dan Kabupaten Buton di
wilayah selatan pulau. Begitu juga
dengan pulau di sebelah timurnya,
Pulau Buton, yang juga dibagi
menjadi tiga: bagian utara Kabupaten Muna serta bagian
selatan Kota Bau-bau dan Kabupaten
Buton.
Mengapa tidak dibagi mengikut
nama pulau saja? Menurut Pak Mus,
jawaban untuk itu terkait dengan sejarah panjang Kesultanan Buton
dan pembagian wilayah administratif
sewaktu pemerintah kolonial
Belanda berkuasa di jazirah pulau-
pulau, mulai Pulau Tobea di Selat
Spelman (nama yang berasal dari nama pemimpin VOC di Sulawesi
bagian selatan pada abad ke-18) di
barat Pulau Muna sampai di
Kepulauan Tukang Besi, yang
terkenal sebagai surga wisata bawah
laut Wakatobi (akronim dari Pulau Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan
Binongko).
Tak terasa, feri cepat ini telah
mendekati Pelabuhan Raha di Raha,
ibu kota Kabupaten Muna, seluas
488.700 hektare yang terletak di bagian timur Pulau Muna. Waktu
menunjukkan pukul 17.05 Wita.
Karena itu, matahari masih bersinar
walau telah jauh di ufuk barat dan,
jika dilihat dari pelabuhan, hampir
menyentuh bukit-bukit di pedalaman pulau.
Dari kapal yang hampir merapat itu,
deretan rumah tampak jelas
terbentang mengikuti pinggir pulau.
Di sebelah kanan pelabuhan, sejauh
mata memandang yang terlihat adalah deretan rumah beratap seng,
yang ternyata merupakan
perkampungan suku Bajo (sering
juga dilafalkan Wajo) hasil buatan
pemerintah sebagai usaha
memukimkan mereka yang sangat terkenal sebagai suku Gipsi Laut di
sepanjang perairan Sulawesi, pesisir
timur Kalimantan, hingga pulau-
pulau kecil di utara Nusa Tenggara.
Ada juga pohon-pohon bakau yang
tinggal pokok dan rantingnya, sudah hampir mati. Sampah plastik
tersebar di antara batu-batu kecil di
bawah talud reklamasi pantai sekitar
pelabuhan.
Di pelabuhan, saya dan Pak Mus
berpisah. Saat bersalaman, ia memberi tahu tiga lokasi yang dapat
dikunjungi jika ingin mengenal Pulau
Muna: Kota Tua Wuna, Liang Kobori,
dan Danau Napabale. Yang pertama
jika ingin menangkap suasana masa
lalu Muna, yang kedua jika hendak bersentuhan dengan dunia manusia
prasejarah, dan yang terakhir jika
akan melihat indahnya alam di Pulau
Muna. Pada pagi hari berikutnya, saya pergi
ke kota tua Muna, yang terletak 30
kilometer dari Raha, dengan
menggunakan jasa ojek, moda
transportasi yang sungguh banyak
berseliweran di Raha. Inilah moda utama, karena kendaraan roda
empat (angkot) tidak ada,
sedangkan taksi hanya ada delapan
unit milik pemerintah daerah.
Dari sebuah literatur, saya tahu, pada
zaman Raja Lakilaponto sebagai Raja Muna VII (1538-1541), jika hendak
memasuki Kota Muna, rakyat biasa
harus berjalan kaki. Yang boleh
berkuda hanya para pejabat istana.
Ada benteng yang mengelilingi kota
sepanjang sekitar 8.000 meter dengan tinggi empat meter dan tebal
tiga meter, dan dibangun dengan
bantuan roh halus karena sang raja
sakti mandraguna. Terbayang
kemegahan suatu kota, dengan tata
pemerintahan teratur, aktivitas perdagangan yang ramai, keamanan
yang terjamin dari para bajak laut
yang ganas di perairan Bau-bau di
Pulau Buton, yang terkenal sebagai
tempat singgah teramai jalur selatan
Sulawesi menuju kawasan Maluku dan Papua.
Sampai berabad-abad kemudian,
Muna adalah kerajaan berdaulat dan
bertetangga baik dengan Kesultanan
Buton, yang ber-Ibu Kota Bau-bau.
Namun, dengan keluarnya Korte Verklaring pada 2 Agustus 1918,
semua itu berubah karena
pemerintah kolonial Belanda hanya
mengakui dua pemerintahan
swapraja di Sulawesi Tenggara,
yakni Swapraja Buton dan Laiwoi di Kendari. Sejak saat itulah Kerajaan
Muna dinyatakan sebagai daerah
bawahan Kesultanan Buton. Dari
beban masa lalu inilah, dan letak
geografis pusat-pusat Kerajaan Muna
dan Kesultanan Buton, saya bisa membayangkan mengapa batas
administrasi modern kedua
kabupaten ini tidak serta-merta
mengikuti pulau masing-masing.
Saat ini, tidak ada lagi kemegahan
kota pusat kerajaan, bahkan Pak Siad Awaluddin, penduduk asli
Muna, yang sempat saya tanyai pun,
tidak lagi tahu perkiraan letak istana
dan benteng monumental itu secara
pasti. Yang masih bisa dilihat
hanyalah masjid yang dibangun oleh Raja Muna terakhir, yakni Raja La
Titakono, pada abad ke-17. Saya
lihat bentuk masjid di bekas ibu kota
kerajaan itu sangat sederhana.
Walau sudah merupakan bangunan
yang dipugar, masjid itu masih memperlihatkan ciri aslinya,
termasuk tempat dudukan
kubahnya yang terbuat dari kayu.
Selepas dari situ, perjalanan berlanjut
ke Liang Kobori, sebuah gua
arkeologis di Desa Liang Kobori, Kecamatan Lohia, yang memuat
goresan atau guratan-guratan dari
zaman prasejarah. Jarak Liang
Kobori ini kira-kira 10 kilometer dari
Raha. Dari balai desa, saya masih
harus berjalan kira-kira 400 meter lagi, melewati tebing-tebing tinggi.
Memasuki gua itu, terasa suasana
yang berbeda, mungkin karena
kelembapannya. Di kanan-kiri gua
yang kira-kira setinggi empat meter
itu, beberapa bentuk abstrak dengan warna merah pucat menyatu
dengan dinding batu kapur. Ada
bentuk memanjang yang
menyerupai daun pisang, ada
bentuk yang menyerupai hewan
(seperti babi atau kambing), bahkan bentuk manusia abstrak dengan
kepala, tangan, badan, dan kaki.
Tapak tangan juga ada. Saat keluar,
saya baru sadar bahwa bentuk
hewan itu bukan babi atau kambing,
melainkan anoa! Saya tidak sempat menghitung
berapa banyak lukisan dinding dan
berapa motif yang tergambar, dan
mengapa umumnya berwarna
merah. Apalagi data arkeologis
mengenai Liang Kobori ini sangat sedikit, berbeda sekali dengan Gua
Leang-leang (Kabupaten Maros) atau
Garunggung (Kabupaten Pangkep)
di Sulawesi Selatan, atau bahkan Gua
Marang atau Liang Tengkorak di
Kalimantan Timur. Atau bahkan apa maknanya mitologisnya, selain
beberapa gambar yang sekilas
mencirikan keseharian mereka,
misalnya berburu. Mungkin sebagian
di antara gambar tangan ini juga
mencirikan perasaan berkabung karena ada anggota keluarga yang
meninggal seperti diteliti para ahli di
Gua Leang-leang ataupun sebagai
medium yang menghubungkan ke
dunia arwah orang mati. Entahlah.
Saat keluar dari Liang Kobori, saya teringat penjelasan seorang teman
dosen arkeologi dari Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Gadjah Mada
bahwa situs arkeologis sejenis akan
mencirikan penyebaran manusia
prasejarah zaman Mesolitikum. Memang, dari berbagai temuan,
sebaran situs sejenis hanya
ditemukan di Borneo bagian utara,
turun ke tengah Pulau Kalimantan,
lalu ke Sulawesi, Kei, Seram, dan
kemudian ke Papua bagian selatan. Jarang ditemukan di wilayah barat
Indonesia. Bocah-bocah bertelanjang dada
melompat dari pinggir danau yang
kebiruan, lalu berenang mendekati
perahu yang terapung sedikit di
tengah. Gembira, berteriak, tertawa,
seakan mereka adalah penghuni penjara yang tahu pasti besok pagi
mereka akan bebas dan lepas
menuju hari-hari yang lebih cerah. Di
langit, awan-awan dipahat angin
lembut membentuk gambar-gambar.
Itulah catatan harian yang saya tulis mengenai Danau Napabale, 15
kilometer dari Raha, juga masih di
Kecamatan Lohia, yang lokasi
pastinya berada di Desa Lohia.
Berbeda dengan Kota Tua dan Liang
Kobori, yang lebih mencirikan kerja manusia, di Danau Napabale, yang
mempunyai luas kira-kira 5 hektare,
saya menelusuri kerja alam.
Beberapa pulau karang kecil tampak
di tengah danau, seperti atol yang
ditumbuhi pepohonan di bagian atasnya; dari kejauhan seperti apel
yang telah digigiti secara melingkar
dengan cekungan-cekungan di
batuan karang berlubang. Inilah
hasil kerja ajaib proses geomorfologi
ribuan tahun di pulau yang sebagian tanahnya berkapur ini. Bisa
dikatakan bahwa Napabale adalah
laguna karst yang terisolasi.
Danau air asin. Bukan pantai. Tidak
ada pasir di sini. Tidak ada angin
lautan yang kejam mengiris. Tidak akan ada debur dan buih putih.
Hanya tenang. Senyap. Dan warna
cyan yang hening. Air laut masuk
lewat lubang di batu karang. Jika
surut, perahu lewat, lalu menembus
laut, langsung ke Selat Buton. Pulau Muna bukan hanya kayu jati,
tapi kayu jati masih jadi penanda
kota. Kesimpulan itulah yang saya
ambil ketika kembali berada di
Pelabuhan Raha untuk balik ke
Kendari. Di pelabuhan, kapal pengangkut jati ke Surabaya telah
merapat, dan beberapa kayu jati
gelondongan sedang ditarik naik ke
dek kapal. Ada satu area kira-kira
seluas tiga perempat lapangan sepak
bola yang digunakan sebagai penampungan kayu-kayu jati yang
siap diangkut. Dari petugas tiket,
saya mendapat informasi bahwa
aktivitas perdagangan jati inilah
yang turut meramaikan kehidupan
di Pulau Muna, ditandai dengan merapatnya banyak kapal besar
pengangkut beberapa kali dalam
sebulan. Tidak jauh dari situ, ada
Tugu Jati Emas yang menjulang
sekitar 15 meter sebagai tetenger
Raha, sebagai ibu kota Muna, ibu kota jati Sulawesi. Tapi, di balik itu,
karena penanaman kembali yang
tidak konsisten, keberadaan jati
Muna yang siap tebang terancam.
Bahkan ditengarai, luas hutan jati
telah menyusut, hanya kira-kira seperdelapan dari luas sebelumnya,
yang sempat 45 ribu hektare pada
1968.
Ketika kapal telah melepas tambatan,
di antara buih ombak di buritan
kapal, saya sadar bahwa masih banyak pesona wisata di Pulau Muna
yang belum ternikmati: festival
layang-layang tradisional (terbuat
dari daun kolope atau ubi hutan,
rami, dan benang dari serat daun
nanas hutan); Kaghati, desa tenunan tradisional di Masalili, atau atraksi
adu kuda yang sudah sangat jarang
dilakukan.
Muna memang bukan hanya kayu
jati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar