Senin, 30 Maret 2015

Potensi Wisata Budaya di Kabupaten Muna

Potensi Wisata Budaya di Kabupaten Muna
 
Obyek pariwisata yang terdapat di kabupaten Muna yaitu:

Kecamatan Lohia
- Makam Sugi Manuru
- Makam Patani
- Makam Ambona
- Makam Sugi Palola

Kecamatan Kabawo
- Wisata Sejarah dan Budaya
- Benteng Loghui
- Benteng Lababu
- Makam Baijul Abidin

Kecamatan Kontu Naga
- Makam Moloku
- Makam Walau
- Kontu Dopi,
- Kontu Naga

Kecamatan Lawa
- Perkelahian Kuda
- Benteng La Tompui
- Benteng Lasiapamu
- Benteng Lakanale
- Benteng Wa Obu
- Benteng Toko
- Benteng Ladaole
- Benteng Waakantofi
- Benteng Lakadearanda

Kecamatan Kabangka
- Kesenian Ludruk
- Kuda Lumping

Kecamatan Napabalano
- Benteng kota Lambiku
- Makam Lambiku

Kecamatan Parigi
- Kuburan Wa Ode Kamono Kamba
- Benteng Arowodolau
- Benteng Arowasolangka
- Benteng Mangkario
- Benteng Lapano

Kecamatan Tiworo Kepulauan
- Benteng Wa Obu
- Benteng Tiworo

Kecamatan Pasir Putih
- Benteng Maghane Balano
- Benteng Kanosope
- Makam Lakamtokurofa
- Benteng Langka Mulu-mulo

Kecamatan Tongkuno
- Benteng lahonti
- Batu Berbunga
- Mesjid Muna
- Makam Kompleks
- Perkuburan Raja Wuna
- Makam Batu Laiwuru
- Makam Sangia Warumbei
- Benteng Kota Wuna
- Benteng Lapute
- Benteng Warimbie
- Benteng Kontu Molepe
- Benteng Maurano

Kecamatan Watupute
- Makam La Kokuli
- Makam Kowatoputeno

Kecamatan Wakorumba Selatan
- Makam Wambona

Kecamatan Maligano
- Mesjid Tua Mutui
- Makam Maligano
- Benteng Kantolalo
- Benteng Maligano
- Makam Komaligano

Legenda

Propinsi
Kabupaten
Wisata Budaya


  Re-Draw Map
KEARIFAN LOKAL BUDAYA MUNA KAITANNYA DENGAN FUNGSI PENDIDIKAN KARAKTER DAN EKONOMI KREATIF

Oleh
La Niampe
Pendahuluan
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat adalah bahan mentah budaya. Demikian ungkapan yang disampaikan Ralph Linton dalam bukunya The Study Of Man (1936). Individu-individu dalam masyarakat saling berinteraksi timbal-balik sehingga menimbulkan budaya. Individu-individu ini ada yang mempunyai kemampuan merubah alam (Mastery of Natural) dan kemampuan memberi bentuk baru dari benda yang sudah ada (Masteri of Thing) seperti kayu diberi bentuk baru berupa alat-alat rumah tangga (Kartodordjo, 2009:1). Ada juga kemampuan memberi variasi gerakan tubuh dari gerakan yang sudah ada sehingga lahirlah berbagai bentuk pertunjukan dalam masyarakat, dan masih banyak lagi yang lain.
Konsep kebudayaan adalah sistem ide yang dimiliki bersama oleh pendukungnya maka kebudayaan Muna atau budaya Muna adalah sistem ide yang didukung oleh masyarakat Muna yang meliputi; kepercayaan, pengetahuan, keseluruhan nilai mengenai apa yang dianggap baik untuk dilakukan, diusahakan dan ditaatinya, norma, berbagai jenis hubungan antar idividu dalam masyarakat, dan keseluruhan cara mengungkapkan perasaan dengan bahasa lisan, bahasa tulisan, nyanyian, permainan musik, tarian, lukisan dan penggunaan lambang bagi kepentingan lain. Sedangkan masyarakat Muna adalah bukanlah kelompok individu yang terdiri dari ras Muna saja, melainkan kelompok masyarakat yang tidak berdasarkan ras Muna, bahkan ke dalam pengertian masyarakat Muna disini dapat dimasukkan ras bukan Muna seperti Bugis, Ambon, Makasar, Jawa, yang dalam kehidupan sehari-hari mereka menjadi pendukung kebudayaan Muna.
Inti kebudayaan nasional adalah karakter orang perorang, karakter suku persuku, sebab karakter bangsa Indonesia dibangun dari identitas-identitas lokal atau daerah. Dengan demikian maka untuk orang Indonesia yang baik bagi orang Muna maka harus menjadi lebih dahulu menjadi orang Muna yang baik. Untuk menjadi orang Muna yang baik (dalam sudut pandang kebudayaan) adalah harus mampu berpikir positif, berkata positif dan berbuat positif terhadap kebudayaannya (kearifan lokalnya).
Batasan Kearifan Lokal
Dalam bentangan Indonesia baru dewasa ini, yang dimaksud dengan kebudayaan “lokal” mestinya lebih tepat disebut kebudayaan “sub-bangsa” atau “suku bangsa”. Memang pada umumnya suatu suku bangsa smile emotikon golongan etnik) itu mempunyai suatu “tanah asal” tertentu di Indonesia ini, yang bisa meliputi wilayah sampai ke yang sangat besar, atau yang “bercabang-cabang”. Namun kenyataan pun menunjukkan bahwa dari waktu-kewaktu terdapat mobilitas penduduk yang menyebabkan perluasan jelajah suatu suku bangsa keluar dari tanah asalnya, dan menyelip diantara kawasan hunian suku-suku bangsa lain. Munculnya koloni Bugis di berbagai penjuru Indonesia adalah contoh yang paling tipikal. Fakta itulah yang menyebabkan istila “lokal” untuk mengkelaskan kebudaan tidaklah tepat. Lebih tidak tepat lagi jika kesatuan kebudayaan itu dikaitkan sebagai penentu dalam penataan administrasi kewilayaan. Suatu suku bangsa dapat menghuni lebih dari satu kabupaten ataupun provinsi, dan sebaliknya di dalam suatu provinsi, kabupaten, atau bahkan satu kecamatan, bisa terdapat lebih dari satu suku bangsa yang sama-sama ‘asli’, yang tinggal dalam wilayah yang bersangkutan
Digunakan untuk menerjemahkan istilah local genius yang semula dicetuskan oleh H.G. Quaritch Wales. Hakikat local genius (baca: kearifan lokal) dalam sudut pandang positif secara inplisit menyangkut: (1) mampu bertahan terhadap budaya luar, (2) memiliki kemampuan unsur-unsur budaya luar kedalam kebudayaan asli, (3) mempunyai kemampuan mengintegrasi unsur-unsur budaya luar kedalam budaya asli, (4) memiliki kemampuan mengendalikan, dan (5) mampu memberikan arah pada perkembangan budaya (Mundardjito, 1986:40) meskipun local genius telah berterima dengan masyarakat Indonesia, namun tetap ada upaya untuk mencarikan padanan kata dalam bahasa Indonesia. Gagasan untuk mengganti istilah local genius dengan suatu istila dalam bahasa Indonesia telah banyak dilakukan, Sodiman (1986:67-68) mengajukan lima alternatif, yakni (1) identitas kebudayaan, (2) identitas bangsa, (3) kebudayaan asli, (4) kebudayaan tradisional, dan (5) kepribadian (baca:Semadi Astra, 2004:111).
Upaya untuk mengganti istilah lokal genius yang cukup komprehensif, yang mungkin mencakup kelima alternatif itu adalah Edi Sedyawati (2006:382). Kearifan lokal sebuah istilah yang hendaknya diartikan “kearifan dalam kebudayaan tradisional”, dengan catatan bahwa yang dimaksud dalam hal ini adalah kebudayaan tradisional suku-suku bangsa. Kata kearifan hendaknya juga dimengerti dalam arti luasnya, yaitu tidak hanya berupa norma-norma dan nilai-nilai budaya, melainkan juga segala unsur gagasan, termasuk yang berimplikasi pada teknologi, penanganan kesehatan, dan estetika. Dengan pengertian tersebut, maka yang termaksut sebagai penjabaran “kearifan lokal” itu, di samping peribahasa dan segala ungkapan kebahasaan yang lain, adalah juga berbagai pola tindakan dan hasil budaya materialnya. Dalam arti yang luas itu, maka diartikan bahwa “kearifan lokal” itu terjabar ke dalam seluruh warisan budaya, baik yang tangible maupun yang intangible.
Kearifan Lokal dan pendidikan karakter
Contoh-contoh kearifan lokal budya Muna
1. pobhini-bhiniti kuli
pomote-motehi
pomaa-maasigho
popia-piara
poangka-angkatau
2. hansuru-hansurumo arataa sumano kono hansuru badha
hansuru-hansurumo badha sumano kono hansuru liwu
hansuru-hansurumo liwu sumano kono hansuru sara
hansuru-hansurumo sara sumano kono hansuru agama
3. dopofoghonu mina naseise, dopogaati mina nakogholota
4. motehie amamu/idhamu, kapae amamu/idhamu itu lansaringino kabholosino allah taala
motehie inamu/paapamu, kapae inamu/paapamu itu lansaringino kabholosino nabi muhammadhi
motehie isamu, kapae isamu itu lansaringino kabholosino malaikati
moasiane aimu, kapae aimu itu lansaringino kabholosino muumini
5. odadi
okahandaki
okakawasa
okapande
opofetingke
opowura
opobhausa
6. peda kolipopo
peda gholeo
peda kawea
peda kabhawo
peda lia
peda oe
peda bhake
Kearifan Lokal dan Ekonomi Kreatif
Alvin Toffler dalam bukunya berjudul The Third Wave (1980) menjelaskan bahwa perjalanan sejarah peradaban umat manusia telah melampaui tiga fase perkembangan;
Pertama, munculnya temuan-temuan baru di bidang pertanian, temuan-temuan ini secara berproses mengangkat derajat kehidupan umat manusia dengan menjadikan usaha pertanian sebagai penopang utama bagi kehidupan. Pertanianlah yang menjadi sentral kehidupan dan semua temuan-temuan baru pun ditujukan dalam upaya meningkatkan produktifitas di bidang pertanian.
Kedua, munculnya peradaban baru yang lahir sebagai ciptaan Revolusi industri. Temuan-temuan baru yang berhasil melipatgandakan kerja otot dan bahkan secara keseluruhan menggantikan tenaga manusia secara fisik dan bekerja secara cepat, tepat dengan hasil yang berlipat ganda.
Ketiga, lahirnya sebuah era baru yang secara total digerakkan oleh revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi. Di era ini IPTEK tidak hanya menambah kemampuan otot manusia, tapi juga melipatgandakan kemampuan otak dan kinerja nalar yang dicapai umat manusia di era gelombang ketiga, adalah berkat kemampuan IPTEK dalam bidang komputer dan komunikasi yang kemudian melahirkan revolusi komunikasi dan selanjutnya melahirkan satu tatanan masyarakat dunia yang baru yang dikenal dengan nama Masyarakat Informasi.
Amerika Serikat, Jepang, Perancis, Inggris menjadi warga dunia itu di jajaran negara-negara Barat dan Jepang, Singapura dan Korea Selatan menjadi warganya di belahan Timur, sementara di Indonesia warganya hanya di kalangan lapisan tertentu seperti perbankan dunia, perindustrian dan konglomerat yang sudah menjadi bahagian integral dari masyarakat informasi dunia yang mengalami perkembangan sangat pesat.
Seperti apakah masyarakat informasi itu? Jawabannya sederhana ialah ketergantungan kehidupan manusia dalam berbagai bidang kehidupan informasi menjadi tulang punggung perekonomiannya, karena sektor inilah yang paling banyak memberi perkerjaan kepada masyarakatnya. Peradaban dunia baru yang dibawa oleh gelombang ketiga menurut Alvin Toffler terjadi melalui Revolusi Komunikasi dan Informasi.
Perubahan-perubahan ini secara mendasar menyebabkan pula terjadinya perubahan sikap dan tingakah laku orang dan masyarakat. Peradaban baru ini menurut Toffler,membawa pula gaya baru dalam kehidupan keluarga, cara kerja baru, perangai baru dalam bercinta, tingkah laku ekonomi baru, konflik-konflik baru dan di atas semua itu adalah sebuah kesadaran baru (new onsiousness) dengan kata lain bahwa peradaban dunia baru ini mengandung implikasi bahwa mereka yang ingin dan berhasil meraihnya perlu mentransformasikan diri dengan kebudayaannya (Alfian 1991).
Apa yang dikemukakan Alvin Toffler, semuanya sudah menjadi realitas dan sekarang masyarakat dunia, warga komunitas informasi global sudah melangkah ke gelombang keempat peradaban umat manusia, sementara bangsa kita boleh dikatakan masih berada dalam gelombang pertamanya Alvin Toffler, hanya sebagian kecil saja dari masyarakat kita yang hidup di kota-kota besar yang sudah mungkin dapat dikatakan berada di gelombang kedua dan sebagian kecil dari mereka dalam jumlah yang sangat sedikit, baru melangkah memasuki gelombang ketiga.
Indonesia tidak hanya dikenal karena perbedaan-perbedaan etnik, suku bangsa, agama dan budaya, tetapi juga pluralisme dalam tingkat peradaban. Dari bentuk kehidupan zaman batu hingga kehidupan maya ada di Indonesia. Kini gelombang keempat pasca Alvin Toffler sudah berlangsung. Negara dan warga masnyarakat informasi serta masnyarakat IPTEK di dunia global sudah memasuki gelombang keempat sementara Indonesia masih menggapai di luar pagar. Untuk menjadi anggota/warga masyarakat gelombang keempat dari peradaban umat manusia posisi Indonesia sangat penting. Karena komoditas utama gelombang keempat peradaban umat manusia itu bukan lagi hasil pertanian, bukan lagi hasil manufaktur dan industri berat, bukan lagi produk-produk IPTEK dalam bidang informasi, dan globalisasi ekonomi, karena semua produk-produk tersebut kian bertambah murah dan sudah menjadi bagian dalam peradaban yang universal. Sekarang gelombang keempat sudah kita masuki, dan BUDAYA menjadi komuditas utamanya. Kearifan lokal satu diantaranya.
Di era gelombang keempat ini, peradaban umat manusia dewasa ini muncul apa yang disebut era Ekonomi Kreatif. Dalam tatanan itu Indonesia yang amat kaya dengan deposit budaya menjadi sangat penting, tidak hanya dari segi pelestariannya sebagai warisan budaya yang perlu di jaga dan dilindungi, demi harkat dan harga diri bangsa, tetapi dari segi profan ia dapat diolah hingga dapat memberi nilai tambah yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Ekonomi Kreatif disebut juga dengan Creative Industries, dilain suasana ada juga yang memberinya nama Industri Budaya, atau Culture Industry. Di era gelombang keempat ini, warga masyarakat dunia sudah menjelajah seluruh pelosok negeri kita untuk mengidentifikasi mata-mata budaya kita yang akan diolah sebagai tambang baru untuk di exploitasi, Apakah juga kemudian eksploitasi ini akan meninggalkan kubangan-kubangan besar dalam kehidupan kebudayaan kita, seperti kubangan-kubangan fisik yang ditinggalkan oleh explorasi “tambang-tambang timah di Pangkal Pinang, kehancuran pulau-pulau kecil di Kepri karena explorasi bauksit, atau hancurnya infrastruktur dan alam karena explorasi batubara di Kalimantan dan banjir besar di pedalaman Riau karena akar-akar kelapa sawit tidak berperan menahan dan menampung air?
Sangat disadari bahwa Ekonomi Kreatif atau idustri Budaya memerlukan keahlian khusus untuk mengolahnya. Memerlukan profesionalitas dan skill yang tepat untuk mengerjakannya dan juga diperlukan moralitas yang tinggi sebagai landasannya. Ekonomi Krekatif adalah sebuah karya yang betul-betul harus menjadi karya dunia, tanpa tanding, bermutu dan bernas, serta lahir dari imajinasi kreatif yang cemerlang, karena itu setiap kelahirannya ia harus segera dilindungi kaidah-kaidah hukum yang berlaku secara internasional.
Dalam upaya menggapai arus deras gelombang ekonomi yang ke empat ini pemerintah RI telah meluncurkan cetak biru Ekonomi Kreatif Indonesia, yakni konsep ekonomi baru yang berorientasi pada kreativitas, budaya, serta warisan budaya dan lingkungan. Cetak biru tersebut akan memberi acuan bagi tercapainya visi dan misi industry kreatif Indonesia sampai tahun 2030. Landasan utama industry kreatif adalah sumberdaya manusia Indonesia, yang akan dikembangkan sehingga mempunya peran sentral dibanding faktor-faktor produksi lainnya. Penggerak industri kreatif dikenal sebagai system triple helix, yakni cendekiawan (intellectual), dunia usaha (business) dan pemerintah (govermment). Dalam cetak biru Ekonomi Kreatif Indonesia tersebut dicatat 14 cakupan bidang Ekonomi Kreatif yakni; 1) jasa periklanan, 2) arsitektur, 3) seni rupa, 4) kerajinan, 5) desain, 6) model (fashion), 7) film, 8) music, 9) seni pertunjukan, 10) penerbitan, 11) reset dan pengembangan, 12) software, 13) TV dan radio, dan 14) video game.
Pengembangan kesadaran bangsa akan kekayaan warisan budaya Indonesia, harus segera dilakukan secara simultan sehingga dapat menyelamatkan, melestarikan, dan memanfaatkan warisan budaya tersebut melalui inovasi dan kreatifitas demi mencapai kesejahteraan. Bangsa Indonesia sangat beruntung karena memiliki khazana “Deposit Budaya”, yang sangat kaya dan apabila diolah dan dikemas dengan baik dapat menjadi aset yang mendatangkan devisa dan meningkatkan perekonomian rakyat. Hal penting lain yang juga sangat perlu mendapat perhatian pemerintah dan masyarakat adalah perlindungan hak atas kekayaan intelektual (HAKI) bagi karya budaya anak bangsa.
Dalam hubungan ini Negara berkepentingan melindungi harta warisannya sebagai pemilik “Deposit Budaya” dan Negara berkepentingan melindungi rakyatnya agar tidak menjadi objek explorasi industri tanpa nilai tambah bagi kesejahteraan hidup masyarakat. Negara juga berkepentingan menjaga dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh explorasi mata budaya terutama jika explorasi itu akan merugikan masyarakat dan negara secara umumnya.
Kesimpulan
Siapa yang harus bertanggung jawab memelihara kearifan lokal budaya Muna? Dalam konteks kehidupan nasional, yang harus bertanggung jawab memelihara kearifan lokal budaya Muna adalah seluruh masyarakat pendukung kebudayaan Muna. Namun dalam konteks kehidupan bernegara, yang harus bertanggung jawab adalah pemerintah daerah yang bersangkutan yaitu melalui Dinas Pariwisata kebudayaan dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Tugas Dinas Pariwisata dan Kebudayaan adalah mendokumentasikan, melestarikan, mempromosikan dan memasarkan. Sedangkan dinas Pendidikan dan Kebudayan adalah mensosialisasikan baik melalui pendidikan formal maupun informal.

PROFIL SEJARAH KERAJAAN MUNA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KERAJAAN DI TANAH MELAYU

PROFIL SEJARAH KERAJAAN MUNA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KERAJAAN DI TANAH MELAYU

Muna juga merupakan salah suku besar di Sulawesi Tenggara, bahasa yang dipakai penduduk pribumi juga menggunakan bahasa muna. Daerah ini dahulunya adalah sebuah kerajaan pada permulaan abad ke-15. Banyak peninggalan-peninggalan yang terdapat di gua-gua di daerah ini yang diperkirakan dibuat pada abad XV dan XVI seperti lukisan manusia terbang, prajurit bertombak dan lain-lain.

Pada zaman dahulu daerah ini bernama Wuna yang berarti bunga. Konon nama wuna ada karena adanya batu yang menyerupai bunga dan sewaktu-waktu tumbuh (orang menyebutnya kontu kowuna artinya batu berbunga). Suku-suku lain di Sulawesi Tenggara mengenal muna juga dengan sebutan Wuna. Kecuali jika berbahasa Indonesia, tetap disebut dengan kata muna.

Kisah Sawerigading (Sawerigadi)
Cerita turun-temurun yang melekat pada masyarakat muna bahwa pada zaman dahulu ada sebuah kapal yang bernama Sawerigading (Sawerigadi) yang berasal dari Luwu Sulawesi Selatan. Kapal ini menabrak karang di Pulau Muna. Kapal tersebut lama kelamaan diliputi karang dan menjadilah sebuah bukit yang saat ini dikenal dengan nama bukit bahutara (bahutara mungkin berasal bahasa Melayu yakni kata bahtera yang berarti perahu). Bukit tersebut saat ini merupakan bukit batu yang sewaktu-waktu tumbuh dan menyerupai bunga (letaknya di Kota Kuno sekitar 35 km dari ibukota kabupaten muna Raha). Oleh penduduk daerah ini disebut kontu kowuna artinya batu berbunga (Mungkin dari sinilah asal kata Wuna berasal). Pada setiap Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha batu berbunga menjadi tujuan utama warga muna untuk mengambilnya dan dijadikan jimat.

Karena kapal Sawerigading telah menjadi bukit maka ia bersama para pengikutnya mendirikan perkampungan di Pulau Muna dan sebagian awak kapal menuju daratan Sulawesi kira-kira sekitar Kendari dan sekitarnya (Di Kendari ada 2 Kerajaan yakni Kerajaan Konawe dan Kerajaan Mekongga). Di Pulau Muna juga mereka tidak menetap tetapi selalu berpindah-pindah. Namun kampung-kampung yang mereka dirikan selalu diberi Kampung Gadi (Lagadi) dan Melai/Melay (Wamelai).

Hubungan Kata Gadi dan Melay dengan Sawerigading dan Melayu
Mengapa kampung yang mereka dirikan diberi nama Gadi (Lagadi) dan Melay (Wamelay). Hampir dapat dipastikan bahwa Nama Gadi kemungkinan berasal dari nama Sawerigading (orang muna menyebutnya Sawerigadi). Karena ia seorang laki-laki maka disebutlah dengan nama Lagadi. Karena kebiasaan orang muna menyebut laki-laki selalu diawali dengan kata La atau a untuk laki-laki dan Wa untuk perempuan.
Lalu bagaimana dengan kampung Melay? Sawerigading dan pengikutnya tidak mungkin menamakan kampung yang mereka dirikan tanpa sesuatu sebab. Mungkinkah Melay berasal dari kata Melayu? Penulis memastikan bahwa kata melai/melay mungkin berasal dari kata Melayu. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor:

  1. Masyarakat muna sulit mengungkapkan kata-kata asing menurut kata yang sebenarnya. Contoh: Jerigen (menjadi Dhereke), terpal (menjadi tarapali), coklat (tokolati)
  2.  Masyarakat muna menyebut bahasa Indonesia dengan sebutan Wamba Malau bukan Wamba Indonesia. Wamba berarti bahasa. Sampai saat ini pun orang muna tetap memakai kata wamba malau dan bukan wamba Indonesia.
  3.  Orang muna menyebut orang Melayu dengan nama Mieno Malau
  4.  Adanya beberapa kata dalam bahasa Muna yang sama persis dengan bahasa melayu misalnya hela (berarti tarik), kata ganti kepunyaan –ku, -mu seperti digunakan dalam kata kontumu yang berarti batumu, lambuku yang berarti rumahku. Kata ganti kepunyaan ini juga banyak mempengaruhi bahasa-bahasa daerah lain di Indonesia.
Jika berasal dari kata melayu, berarti rombongan Sawerigading sebagian adalah orang melayu. Kemungkinan lain adalah rombongan dari Melayu juga datang di Muna dan mungkin saja pimpinan rombongan atau yang berpengaruh dalam rombongan tersebut adalah seorang perempuan (putri). Oleh sebab itu dapat dipastikan pemberian nama kampung yakni Wamelay didasarkan atas pimpinan rombongan itu (Wa sebutan untuk perempuan).

La Eli alias Baidzul Dzaman
La Eli Raja pertama Kerajaan Muna yang bergelar Bheteno ne tombula yang berarti yang muncul dari tolang (tolang adalah sejenis bambu yang sangat tipis dan agak besar). Sebelum menjadi Raja, konon La Eli ditemukan oleh rombongan utusan Kamokulano Tongkuno (Kamokulano berarti yang dituakan atau yang dipertuan di Tongkuno). Rombongan tersebut mencari batang tolang untuk perlengkapan upacara adat saat itu. Sampai saat ini upacara dengan menggunakan tolang tersebut masih ada yakni disebut upacara Kasalasa atau katalasa (upacara adat sebelum bercocok tanam untuk kebun yang baru), ada juga bernama Ka ago-ago yakni upacara untuk memasuki suatu area baru.

Dikisahkan, pada waktu utusan Kamokulano Tongkuno memotong bambu mereka mendengar suara Eh Eh (Menurut La Kimia Batoa dalam Sejarah Kerajaan Muna). Saat mereka memotong lagi, mereka mendengar suara eh eh lagi, akhirnya mereka memutuskan untuk mencari asal suara tadi, ternyata mereka menemukan seorang pria dan pria ini langsung dibawa menghadap Kamokulano Tongkuno. Pria tersebut ditempatkan dalam sebuah ruang khusus yang diberi nama ‘Songino Betheno ne Tombula’ yang berarti Ruangannya orang yang muncul/ditemukan dari tolang lanjut La Kimia Batoa dalam Sejarah Kerajaan Muna, dan orang tersebut diberi nama Bheteno ne Tombula (artinya orang yang muncul dari tolang).

Kata Bheteno ne Tombula terdiri beberapa suku kata yakni Bheteno (yang muncul), ne (di) dan Tombula (tolang/sejenis bambu). Secara harfiah Bheteno ne Tombula memang dapat diartikan yang muncul dari tolang. Hal ini menyebabkan banyak masyarakat yang salah menafsirkan. Menurut para tua-tua di muna, bahwa Bheteno ne Tombula (dalam hal ini La Eli) memang muncul dari batang tolang. Namun jika kita kaji makna Kata Bheteno ne Tombula, kita dapat menemukan arti lain. Di atas telah dikatakan bahwa utusan Kamokulano Tongkuno mencari batang tolang. Rombongan Sawerigading (orang muna menyebutnya Sawerigadi) mendirikan perkampungan-perkampungan dan sebagian lagi ke Jazirah Sulawesi Tenggara. Mengapa muncul nama La Eli bukan nama Sawerigading (Sawerigadi)? Penulis belum mengetahui pasti, apakah La Eli dan Sawerigading adalah dua orang yang berbeda, ataupun Sawerigading sendiri hanyalah nama kapal yang ditumpangi La Eli bersama rombongannya. Lepas dari masalah itu, mari kita kembali kepada kata Bheteno ne Tombula. Kata Bheteno bisa berarti yang muncul. Menurut orang tua-tua di muna, La Eli berasal dari batang tolang tetapi sebagian lagi mengatakan ia ditemukan dalam rumput tolang (sejenis bambu) oleh utusan pencari batang tolang dari Tongkuno (Tongkuno saat ini menjadi nama Kecamatan).


Penemuan Wa Tandi Abe (We Tendri Abeng)
Pada suatu ketika di pantai Napabale (saat ini menjadi salah objek wisata di kabupaten muna) ditemukan seorang putri yang sangat cantik dan putri tersebut mencari laki-laki yang telah menghamilinya, yang tidak lain laki-laki tersebut adalah La Eli alias Baidzul Dzaman (di Sulawesi Selatan dikenal nama I Lagaligo, Wa Tandi Abe dikenal dengan nama We Tendri Abeng, Mungkinkah I Lagaligo yang dimaksud adalah La Eli dan We Tendri Abeng adalah Wa Tandi Abe). Kabar penemuan putri ini akhirnya terdengar oleh La Eli dan pada saat itu La Eli mengatakan kepada Kamokulano Tongkuno bahwa putri tersebut adalah istrinya dan mereka berdua berasal dari Kerajaan Luwu.

Mungkinkan Wa Tandi Abe (We Tenryabeng) berasal dari Melayu? Melihat nama Tendryabeng tentunya nama ini adalah nama asli dari Sulawesi Selatan bukan dari tanah melayu. Mungkinkah ia dibesarkan di Tanah Melayu dan tetap memakai nama yang bukan nama Melayu ataupun nama Islam.

Mengapa ia disebut Baidzul Zaman? Cerita yang berkembang dalam masyarakat Muna saat ini bahwa yang pertama kali memimpin Kerajaan Muna adalah Baidzul Zaman yang bergelar bheteno ne tembula (orang-orang tua menyebutnya: Baidhuludhamani). Nama Baidzul Zaman ini tentu saja mengarah kepada nama Islam namun sejak pemerintahan Raja Pertama di muna belum Nampak unsur-unsur Islam. Hal ini terbukti dengan adanya upacara-upacara dalam masyarakat muna yang tidak mencerminkan unsur-unsur islami misalnya upacara Katalasa, Kaago-ago, Kaghotino buku, Kapamole dan lain-lain walaupun hal ini tidak disadari oleh tua-tua di Muna bahwa pada awal mula kerajaan ini masyakatnya belum memeluk Islam, akan tetapi nanti pada masa pemerintahan La Posasu (Raja Muna VIII) masyarakat muna sudah mulai memeluk Islam. Lantas, mengapa ia dikenal dengan nama Baidzul Zaman? Menurut penulis bahwa nama itu dipakai La Eli saat berada di tanah Melayu karena masyarakat tanah melayu saat itu sudah memeluk Islam, olehnya itu agar La Eli bisa bergaul dengan masyarakat Melayu saat itu, ia memakai nama Islam dan berperilaku sebagai orang Islam atau mungkinkah sudah memeluk agama Islam.

Dari Situs Wikipedia (http://id.wikipedia.org/wiki/Sureq_Galigo) dikatakan bahwa Sawerigading adalah Saudara Kembar We Tendriyabeng dan Sawerigading menikahi We Tenriyabeng. Dalam naskah tersebut dikatakan bahwa Sawerigading putranya bernama I Lagaligo. Mungkinkah Lagaligo adalah La Eli atau keturunannya, tidak ada pendapat yang pasti. Namun terlepas dari itu penulis berpendapat bahwa We Tenriyabeng sebenarnya adalah Wa Tandi Abe sebab orang muna tidak dapat (sudah) melafalkan kata Tenriyabeng. Kemungkinan Kata Tenriyabeng ini menjadi Tandi Abe dalam bahasa Muna. Apakah Wa Tandi Abe di sini adalah sang Putri dari Melayu. Penulis juga tidak dapat memastikannya, yang jelas La Eli dan Wa Tandi Abe adalah Raja dan Permaisuri pertama Kerajaan Muna.

Menurut La Kimia Batoa dalam Buku Sejarah Kerajaan Muna, bahwa Wa Tandi Abe mengendarai sebuah dulang (sejenis Loyang) yang dalam bahasa Muna disebut Palangga (ia digelari Sangke Palangga) hingga ia ditemukan di Muna. Mengapa seorang putri mengendarai dulang? Menurut penulis bahwa kapal yang ditumpangi Tandi Abe mungkin tenggelam dan terpisah dengan rombongan kapal Sawerigading. Perkiraan penulis La Eli menumpangi Kapal Sawerigading sedangkan Wa Tandi Abe menumpangi kapal lain. Disebutkan di atas bahwa kapal Sawerigading menabrak karang di pulau muna, kemungkinan ini terjadi karena adanya cuaca buruk. Kapal yang ditumpangi Wa Tandi Abe kemungkinan akibat cuaca buruk terbawa oleh arus laut dan akhirnya tenggelam. Kapal yang ditumpangi Wa Tandi Abe tentunya di dalamnya banyak pelayan dan prajurit sehingga walaupun kapal yang ditumpangi Wa Tandi Abe tenggelam tetapi berkat bantuan dari para pelayan dan prajuritnya Wa Tandi Abe selamat dari maut. Kemungkinan yang bisa terapung di dalam air adalah dulang maka dulang ini kemungkinan didorong oleh prajurit sambil berenang menuju ke daratan. Lagi-lagi menurut penulis, kemungkinan rombongan Wa Tandi Abe berasal dari Tanah Melayu sebab kampung yang didirikan rombongan kapal Sawerigading selalu diberi nama La Gadi dan Wa Melay sebab pemberian nama suatu kampung/negeri karena adanya suatu sebab, seperti halnya penemuan Benua Amerika yang diambil dari salah seorang Juru Tulis saat itu yang bernama Amirico Vesvusi. Oleh karenanya rombongan Kapal Sawerigading selalu memberi nama kampung yang mereka dirikan dengan nama La Gadi atau Wa Melay yang menandakan bahwa mereka berasal dari Sulawesi Selatan (Saweri Gadi) dan dari Tanah Melayu (Wa Tandi Abe). Wallahu A’lam

ASAL USUL Pulau Muna dan Kisah Epik “I La Galigo”

ASAL USUL
Pulau Muna dan Kisah Epik “I La Galigo”
 
Dalam sejarah Pulau Muna yang dikenal sebagai Tanah Wuna. Jules Couvreur, seorang peneliti Belanda (1933-1935) menulis dalam jurnalnya secara mendalam tentang sejarah kerajaan Wuna yang ada hubungannya dengan Buton.
Karyanya Couvreur kemudian dipublikasikan oleh Dr. Renevan Den Berg, seorang profesor linguistik dan peneliti bahasa Muna dari Darwin, Australia. Rene menerjemahkan jurnal tersebut ketika Couvreur meninggaldi Den Haag tahun 1971 dalam usia 70 tahun.
Menurut Couvreur, ‘Wuna’ dalam bahasa Muna berarti ‘bunga‘, Disebut begitu karena tidak jauh dari Kota Wuna itu terdapat sebuah bukit batu karang yang menyerupai bunga. Tebing ini disebut ‘bahutara‘ atau ‘bahtera‘ yang berarti perahu besar atau sebuah bahtera. Bahtera ini dikaitkan dengan Sawerigading yaitu tokoh karakter dalam kisah epik legendaris “I La Galigo”.
I La Galigo” adalah kisah epik terpanjang di dunia sekaligus lebih tua dari “Mahabharata”. Bahasa dalam epik legendaris ini adalah bahasa Bugis kuno. Sawerigading merupakan asli rakyat Wuna dan ayah dari La Galigo yang merupakan tokoh utama dalam epik “I La Galigo”. Meskipun Sawerigading dan La Galigo tidak pernah menjadi raja tetapi mereka berdua digambarkan sebagai petualang, pengembara, kapten kapal, dan pahlawan yang tak terkalahkan. Salah satu putra I La Galigo itu, La Tenritatta, pernah menjadi raja di Luwu, Sulawesi Selatan.
Dalam epik “I La Galigo”Sawerigading dan I La Galigo digambarkan sebagai penakluk binatang besar dimana orang-orang pada umumnya di pulau Muna menjadikan adu kuda sebagai tradisi yang senantiasa dihidupkan. Menurut cerita bahwa orang yang datang ke Muna tidak bisa berjalan tegak dan dilarang berkuda. Kuda, rusa, dan anoa merupakan hewan endemik Sulawesi dan hanya bisa ditunggangi oleh raja-raja di wilayah tersebut.
Seperti dijelaskan Couvreur bahwa Kerajaan Wuna tidak pernah didirikan secara resmi sampai raja yang ke-7, La Kila Ponto (1538-1541) membangun benteng mengelilingi kerajaan dengan panjang 8 km, tinggi 4 meter, dan lebar 3 meter. La Kila Ponto kemudian diresmikan sebagai raja Buton dan Wuna diserahkan ke La Posasu, adik La Kila Ponto.
Saat ini, benteng yang mengelilingi kerajaan tersebut masih berdiri berpadu bersama masjid agung bergaya rumah Buton. Masjid tersebut dibangun pada 1712, kemudian direnovasi pada 1933 oleh La Ode Dika, salah satu raja Muna (1930-1938). La Ode Dika menerima bantuan dari Jules Couvreur untuk mengembangkan masjid tersebut. La Ode Dika dijuluki oleh Couvreur sebagai‘Komasigino’ atau ‘pendiri masjid‘. La Ode Dika memiliki 14 anak dan beberapa dari mereka menjadi beberapa pemimpin lokal Sulawesi Tenggara.
ADAT DAN BUDAYA
Makna Simbolik Dalam Tradisi Karia Pada Masyarakat Muna
 
Tradisi karia dianggap sebagai upacara yang paling penting bagi anak perempuan di Kabupaten Muna ketika memasuki usia dewasa. Dalam pelaksanaan tradisi karia ini banyak simbol-simbol di dalamnya yang mengandung makna. Namun, fenomena yang terjadi sekarang, sebagian besar masyarakat Muna khususnya para remaja perempuan tidak mengetahui makna yang terkandung dalam tradisi karia tersebut.  Hasil penelitian menunjukan bahwa tahapan dalam proses tradsi karia pada masyarakat Muna terdiri dari 3 tahap yaitu, tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap akhir. Pada tahap persiapan, panitia yang telah dibentuk menyiapkan segala kebutuhan yang akan dipakai pada saat pelaksanaan tradisi karia, diantaranya kaalano oe sokaghombo, kaalano bhansano bhea,. Pada tahap pelaksanaan terdapat beberapa prosesi, yaitu: kafoluku, kaghombo, kabhansule, kabhalengka, kabhindu, kafosampu, katandano wite, tari linda, kabasano dhoa salama, dan kahapui dan tahap akhir tradsi karia dilakukan kafolantono bhansa/kaghorono bhansa di sungai. Makna yang terdapat dalam proses tradisi karia adalah mensucikan diri bagi perempuan dan sebagai salah satu media dalam mendidik perempuan yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga, masyarakat dan negara. Kata kunci : Makna, Simbol, Tradisi Karia dan Masyarakat Muna

KESENIAN

Pogiraha Adhara ( Adu Kuda ) di Pulau Muna

Keindahan bawah laut Wakatobi telah memukau banyak petualang. Akan tetapi, tahukah Anda bahwa pesona budaya di atas daratannya juga tak kalah memukau. Salah satunya yang patut dilihat adalah atraksi di Raha, ibu kota Pulau Muna. Pulau Muna adalah sebuah pulau di lepas panti Sulawesi Tenggara.  Temukan di sini atraksi adu kuda tradisional yang dapat mengimbangi kepuasan nikmatnya keindahan bawah laut Wakatobi.
Masyarakat Muna mengenal adu kuda ini dengan sebutan Pogeraha Adara. Tradisi ini menggambarkan betapa kuda begitu penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Bisa jadi karena tradisi inilah pula kemudian Pulau Muna dikenal sebagai Pulau Kuda.  Salah satu yang kental dengan penamaan ini adalah penduduk Desa Lathugo di Kecamatan Lawa yang masih melestarikan Pogeraha Adara. Sehari-hari pun mereka banyak yang memakai kuda meski sarana transportasi sudah modern.
Setiap tahun sedikitnya 3 kali atraksi adu kuda digelar di lapangan terbuka Kecamatan Lawa, sekitar 20 km dari Raha. Acara ini biasanya digelar setiap HUT Kemerdekaan RI, Hari Raya Id Fitri, dan Id Adha. Kecuali itu Anda dapat menemukannya di Desa Lathugo, Kecamatan Lawa, karena di sini adu kuda diselenggarakan tiap bulan.
Saatnya Anda mencicipi pengalaman budaya yang berbeda, unik, dan menarik dalam Pogeraha Adaradi Pulau Muna
Atraksi ini adalah peninggalan raja-raja Muna. Awalnya pertunjukan adu kuda ini dimaksudkan sebagai penghormatan raja kepada tamu-tamu penting yang datang dari Pulau Jawa atau daerah lain. Sekarang, atraksi ini secara rutin digelar bertepatan pada hari-hari besar. Makna Pogeraha Adara mencerminkan kekuatan dan keuletan dalam melaksanakan tugas yang diamanatkan sekalipun harus
Atraksi Pogeraha Adara dimulai dengan menampilkan kuda-kuda betina yang dipimpin seekor kuda jantan yang berbadan besar dan beringas. Di tempat lain, dimunculkan seekor kuda jantan dengan ukuran fisik sama besar. Kuda jantan itu akan berusaha mendekatkan dirinya ke kuda-kuda betina yang dipimpin seekor kuda jantan tadi. Akibatnya kuda jantan yang memimpin sejumlah kuda betina akan terpancing marah saat melihat kuda jantan asing mendekati kawanan kuda betinanya. Kedua kuda jantan sama besar ini telah dibuat gelisah dan saling iri satu sama lain hingga akhirnya bertarung. Siapa yang keluar sebagai pemenang maka akan mendapatkan kuda betina.
Kuda yang diadu adalah kuda jantan liar dari alam bebas. Uniknya, untuk menangkap kuda jantan liar tersebut tidak memakai laso tetapi seorang meintarano (pawang kuda) akan menirukan suara kuda betina sebagai pemancing. Jika kuda jantan mendekat maka sang meintarano tinggal menangkapnya. Kuda yang ditangkap kemudian dijinakan dan dilatih di sebuah lapangan dengan mengelus-elus hidung, telinga, hingga ke punggung kuda. Kuda yang diadukan tersebut khusus dipelihara memang untuk perkelahian.
Setelah perkelahian maka luka-luka  di badan kuda akan diobati dengan gerusan campuran karbon dari baterai bekas dan minyak tanah. Obat ini dipercaya mencegah infeksi dan luka akan cepat mengering. Setelah sembuh kuda aduan itu akan dilepaskan kembali ke alam bebas untuk kemudian suatu hari mungkin ditangkap kembali untuk memenuhi naluri purba rakyat Pulau Kuda.
PARIWISATA
NAPABALE, DANAU AIR ASIN DENGAN TEROWONGAN ALAM MENUJU LAUT


Napabale adalah danau air asin terletak diantara desa korihi dan desa lohia sektar lima belas kilo meter dari Kota Raha, Ibu Kota Kabupaten Muna Propinsi Sulawesi tenggara.Air danau sedalam satu setengah meter bila air laut surut dan 4 meter bila pasang.Airnya amat jernih berwarna kehijauan. Napabale berasal dua suku kata yaitu napa dan bale yang kalau diartikan secara lengkap adalah Pelabuhan dan tempat orang mengambil daun pandan muda yang memang nanyak tumbuh disekitar danau tersebut.
            Danau Napabale berada diantara dinding-dingding bukit batu kapur dan dihubungkan dengan terowongan sepanjang lebih dari tiga puluh meter dan lebar sembilan meter ini menjadi jalur tetap para nelayan saat akan berangkat dan pulang melaut.
Konon pada abad kelima belas seorang gadis yang amat cantik di dalam terowongan ini, tanpa diketahui asal usulnya berlabuh ditempat ini dengan menumpang sebuah loyang, gadis itu kemudian dikenal sebagai sangke Palangga yang artinya orang yang menumpang loyang. Pada saat yang sama di Kota Muna ditemukan seorang lelaki tampan yang muncul dari rumpun bambu yang kemudian diberi nama beteno ne tobula yang artinya yang muncul dari bambu atau lebih dikenal dengan nama baizul Zaman.
Karena kehadiran kedua manusia tersebut dianggap aneh maka oleh tetua di Kota Muna diputuskan untuk memingit keduanya selama 7 hari. Sekeluarnya dari pingitan ternyata diketahui kalau sangke palangga telah hamil tua dan tidak lama lagi akan melahirkan.
Dan betapa terkejutnya para tetua masyarakat ketika Beteno Netombula mengakui kalau sangke palangga adalah istrinya yang dikawininya secara gaib, sedangkan bayI yang dikandungan Sangke Palangga adalah anaknya. Menurut cerita Beteno ne Tombula, Sangka Palangga adalah putri raja Luwuk yang dibuang orang tuannya karena hamil diluar nikah dan suaminya tidak diketahui. Beteno netombula alias baizul Zaman dengan kesaktiannya kemudian menyusul istrinya dan pertemuan mereka Pulau Muna seperti cerita diatas.
Karena kehadiran Beteno Ne Tombula dan Sangke Palangga dianggap mistik sehingga dan sudah menjadi takdir dari Yang Maha Kuasa, maka keduannya di nobatkan sebagai pemimpin ternggi di lingkungan komuntas masyarakat Muna. Beteno Ne Tombula yang dipercaya sebagai pemimpn tertinggi, kemudian menata administrasi organisasi dengan prinsip-prinsi pemerintahan yang moderen dan Beteno netombula alias Baizul Zaman sebagai sebagai Raja Pertama.
Beberapa kilometer dari napabale, ada sebuah situs purba yang terletak di ketinggan bukit. Kapur .Untuk menuju ketempat ini dibutuhkan usaha dan fisik yang kuat. Jalan setapak sepanjang lima kilo meter, tebing-tebing curam dan pucuk-pucuk karang yang tajam menjadi tantangan, yang menggeltik untuk dicoba.
Diatas sana, pada ketinggian dua ratus delapan puluh enam meter diatas permukaan laut, Gua Layang-layang tersembunyi dalam celah yang sepi.Gua yang menyerupa ceruk ini menyimpan lukisan karya manusia purba ribuan tahun lalu.
Napabale dan Gua prasejarah memang menarik. Namun orang Muna, perjalanan belum afdol, jika tidak mengunjungi Kota Muna tua. Yang di sebutkota Muna tua ini, hanyalah sebuah desa dilembah yang di kelilingi perbukitan.
Desa yang terkesan yang ditnggalkan ini, terletak sekitar tiga puluh kilo meter dari Kota raha, yang menjadi ibukota Kabupaten Muna sekarang. Seperti sebagian besar wilayah di pulau Muna, kota tua ini tidak memilki sumber mata air, sehingga tampak kering dan tanahnya merah.
Bicara Kota Muna tua, orang tidak bisa lepas dari cerita rakyat mengenai kapal Saweri Gading. Dari kentinggian Saweri Gading yang berada delaoan puluh meter dari atas tanah tersedia pemandangan indah dengan Kota Muna tua di kejauhan.
Bongkahan batu besar ini terdiri dari dua bagian yang dipercaya sebagai bekas palka yang satunya lagi bekas haluan. Dari atas terdapat jalan sempit yang menuju ke lorong-lorong di dalam batu, yang ternyata berongga. Orang Muna percaya, rongga yang terbagi-bagi atas beberapa ruang sempit itu, merupakan bekas kamar-kamar yang telah membatu.
Menurut cerita muna, kapal saweri Gading terdampar d tempat sekarang berada.Dikisahkan hanya ada tiga puluh orang awaknya yang selamat.Ketiga puluh orang ini dipercaya sebagai manusia pertama yang menghuni Pulau Muna.
Lima ratus meter dari kapal Saweri Gading,ada tiga bongkahan batu yang disebut Kontu Kowuna.Atau batu berbunga.Konon dari sinilah nama Kota Muna berasal.Muna semula berasal dari kata Wuna yang artinya bunga.
Seperti namanya,bongkahan batu padas ini memang dipenuhi oleh sejenis rumput berwarna putih tulang,sehinggah dari jauh bongkahan padas tersebut terkesan berbunga.
Konon dengan membawa bongkahan padas berumpt ini dan menyebut nama Kontu Kowuna,para prajurit ini pasti selamat dan selalu kembali.Kini setelah ratusan tahun berlalu ,orang Muna masih tetap mempercayai kesaktian Kontu Kowuna.
Banyak kisah indah di balik benda-benda diam ini.Terbawa oleh jaman,tanpa perubahan.Tersembunyi diantara sema dan dinding-dinding batu kapur Pulau Muna.Keindahan yang hanya dapat didekati oleh mereka,para penggali masa lalu.Petualang-petualang dengan rasa ingn tahu dan kemauan tang sama kuatnya.

Wisata Kuliner Khas Sulawesi Tenggara (K.A.B.U.T.O)
 
kabuto
Kabuto adalah makanan khas Masyarakat Muna dan Buton Kepulauan di Sulawesi Tenggara yang tergolong unik. Dan bukannya saudara kembar naruto,hehehe.. Dikatakan unik lantaran bahan dasar menu makanan yang mirip bahasa jepang itu adalah ubi kayu atau singkong yang telah dikeringkan dan dibiarkan berjamur. Semakin lama disimpan dalam keadaan kering maka akan makin enak rasa dan aroma makanan ini kala disantap. Apalagi bila dicampur kelapa parut dan ditambah menu ikan asin goreng sebagai lauknya.. tambah mantap.
Cara menyiapkan makanan inipun tergolong sangat praktis dan simpel. Singkong yang telah kering tadi dipotong-potong dan beri air secukupnya lalu dimasak sampai benar-benar matang selama kira-kira satu jam.
Sambil menunggu sang Kabuto benar-benar masak, kita bisa menyiapkan kelapa parut sebagai campuran utamanya. Bisa juga dengan menyiapkan ikan asin goreng sebagai pendamping atau lauk untuk makanan khas masyarakat Muna-Buton ini.
Dilihat dari kandungan gizinya, Kabuto termasuk makanan yang kandungan gizinya kurang. Hal ini disebabkan karena singkong kering memang bernilai gizi rendah.
Menu khas ini masih kita jumpai di desa-desa nelayan pesisir pantai Sulawesi Tenggara. Bisa jadi masyarakat masih mempertahankan makanan ini karena harganya yang tergolong sangat murah dan membuatnyapun sangat mudah. Mau coba?





Rumah Adat

Anjungan atau bangunan induk anjungan mengambil bentuk Istana Sultan Buton (disebut Malige) yang megah. Meskipun didirikan hanya dengan saling mengait, tanpa tali pengikat ataupun paku, bangunan ini dapat berdiri dengan dengan kokoh dan megah diatas sandi yang menjadi landasan dasarnya. Patung dua ekor kuda jantan yan sedang bertarung, pelengkap bangunan, menggambarkan tradisi mengadu kuda dari Pulau Muna yang digemari masyarakat Sulawesi Tenggara
Di Taman Mini Indonesia Indah, anjungan Sulawesi Tenggara terletak di sebelah tenggara arsipel, bersebelahan dengan anjungan Sulawesi Selatan serta berhadapan dengan istana anak-anak Indonesia. Dalam memperkenalkan daerahnya propinsi Sulawesi Tenggara menampilkan bangunan induk yang merupaka tiruan dari istana raja Buton yang disebut Malige.