RAHA-Napabale adalah danau
pemandian air asin ini terletak
diantara Desa Wabantinggi dan Lohia,
sekitar lima belas kilo meter di selatan
Kota Raha, Kabupaten Muna, Sulawesi
Tenggara. Air danau sedalam satu setengah meter di saat surut, amat
jernih dan berwarna kehijauan.
Berada dibalik sebuah dinding
perbukitan kapur, Danau Napabale
dihubungkan dengan laut terbuka
oleh sebuah terowongan alam. Terowongan ini bisa ditelusuri dengan
perahu pincara, ketika air laut surut.
Terowongan sepanjang tiga puluh
meter dengan lebar sembilan meter
ini, menjadi jalur tetap para nelayan,
saat berangkat atau pulang melaut. Konon pada abad kelima belas,
seorang gadis yang amat cantik,
ditemukan di dalam terowongan ini,
tanpa diketahui asal usulnya. Dia
akhirnya dijadikan permaisuri oleh
raja. Nama Napabale sendiri berasal dari kata tempat pelabuhan perahu-
perahu yang mengangkut daun
pandan duri.
Beberapa kilometer dari Napabale,
ada sebuah situs purba yang terletak
di ketinggian bukit kapur. Untuk menuju ketempat ini dibutuhkan
usaha dan fisik yang kuat. Jalan
setapak sepanjang lima kilo meter,
tebing-tebing curam dan pucuk-
pucuk karang yang tajam, menjadi
tantangan, yang sungguh menggelitik untuk dicoba.
Di atas sana, pada ketinggian dua
ratus delapan puluh enam meter di
atas permukaan laut, Gua Layang-
layang tersembunyi dalam celah yang
sepi. Gua yang lebih menyerupai ceruk ini masih menyimpan lukisan
karya manusia purba ribuan tahun
lalu.
Napabale dan gua prasejarah
memang menarik. Namun menurut
orang Muna, perjalanan belum afdol, jika tidak mengunjungi Kota Muna tua.
Yang disebut Kota Muna tua ini,
hanyalah sebuah desa dilembah yang
dikelilingi perbukitan.
Desa yang terkesan ditinggalkan ini,
terletak sekitar tiga puluh kilo meter dari Kota Raha, yang menjadi ibu kota
Kabupaten Muna sekarang. Seperti
sebagian besar wilayah di Pulau Muna,
kota tua ini tidak memiliki sumber
mata air, sehingga tampak kering dan
tanahnya merah. Bicara Kota Muna tua, orang tidak bisa
lepas dari cerita rakyat mengenai
kapal Saweri Gading. Dari ketinggian
batu Saweri Gading yang berada
delapan puluh meter dari atas tanah,
tersedia pemandangan indah dengan Kota Muna tua di kejauhan.
Bongkahan batu besar ini terdiri dari
dua bagian yang dipercaya sebagai
bekas palka, dan satunya lagi bekas
haluan. Dari atas terdapat jalan sempit
yang menuju ke lorong-lorong di dalam batu, yang ternyata berongga.
Orang Muna percaya, rongga yang
terbagi-bagi atas beberapa ruang
sempit itu, merupakan bekas kamar-
kamar yang kini telah membatu.
Menurut cerita orang Muna, kapal Saweri Gading terdampar di tempat
sekarang berada. Dikisahkan hanya
ada tiga puluh orang awaknya yang
selamat. Ketiga puluh orang ini
dipercaya sebagai manusia pertama
yang menghuni Pulau Muna. Lima ratus meter dari kapal Saweri
Gading, ada tiga bongkahan batu
yang disebut Kontu Kowuna. Atau
batu berbunga. Konon dari sinilah
nama Kota Muna berasal. Muna semula
berasal dari kata Wuna yang artinya bunga.
Seperti namanya, bongkahan batu
padas ini memang dipenuhi oleh
sejenis rumput berwarna putih tulang,
sehingga dari jauh bongkahan padas
tersebut terkesan berbunga. Konon batu berbunga ini dipercaya
memiliki kesaktian, sehingga setiap
prajurit Muna yang hendak berangkat
berperang, selalu datang mengambil
sebongkah sebagai jimat.
Konon dengan membawa bongkahan padas berumput ini dan menyebut
nama Kontu Kowuna, para prajurit ini
pasti selamat dan selalu kembali. Kini
setelah ratusan tahun berlalu, orang
Muna masih tetap mempercayai
kesaktian Kontu Kowuna. Banyak kisah indah di balik benda-
benda diam ini. Terbawa oleh jaman,
tanpa perubahan. Tersembunyi
diantara semak dan dinding-dinding
batu kapur Pulau Muna. Keindahan
yang hanya dapat didekati oleh mereka, para penggali masa lalu.
Petualang-petualang dengan rasa
ingin tahu dan kemauan yang sama
kuatnya.(int)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar