Senin, 22 Agustus 2011

Kisah La Ode Wuna di Negeri Maluku ( Seram )

Kisah La Ode Wuna di Negeri Maluku ( Seram ) 


Sahulau adalah sebuah kerajaan kuno yang terdapat di wilayah pulau Seram Maluku. Wilayah Sahulau kini merupakan Desa di wilayah pesisir, sedangkan kerajaan tua (Negeri Lama) yang terletak di puncang gunung kini tidak ada lagi.
Kerajaan Sahulau dalam catatan sejarah masih sangat kabur. Bahkan sebagian orang masyarakat masih meragukan keberadaannya. Nama kerajaan ini dikenal dalam sebuah cerita rakyat yang di yakini oleh sebagian masyarakat merupakan kelanjutan dari negeri NUNUSAKU sebuah "Negeri yang hilang". Nunusaku sendiri di percaya masyarakat Maluku sebagai sebuah kerajaan yang menurunkan suku-suku di wilayah Maluku khususnya di Pulau Seram.
Nunusaku dipercaya sebagai negeri atau tempat asal mula Alifuru, suku asli yang pertama mendiami kepulauan Maluku yang kemudian menyebar diseluruh kepulauan Maluku. Sebagian masyarakat menganggap Nunusaku hanya sebuah dongeng atau legenda rakyat karena tak satupun yang mengetahui keberadaannya. Dalam kepercayaan masyarakat Maluku, tak satupun orang dapat menemukan kerajaan Nunusaku dan bekas-bekasnya kecuali orang itu benar-benar berhati suci.
Sejarah mengungkap perihal kerajaan Nunusaku dan Sahulau namun dasar penulisan sejarah hanya berdasarkan tradisi tutur yang dalam tradisi Maluku dikenal sebagai KAPATA. Dalam Kapata terseut dikishkan , setelah runtuhnya kerajaan Nunusaku kemudian digantikan dengan kerajaan Sahulau.
Kerajaan Sahulau sendiri runtuh dan dikuasai oleh Belanda pada 24 februari 1858 dan selanjutnya masyarakat dipindahkan kedaerah pesisir yang cukup menarik, salah satu kerajaan Islam yang besar yang ditangani oleh suku bangsa ALUNE dan WEMALE.
Masyarakat negeri Samasuru, tidak setuju jika Sahulau merupakan kelanjutan dari kerajaan Nunusaku, karena Sahulau diperintah pertama oleh seorang sultan yang berasal dari Muna, bernama La Ode Wuna La Ale.
La Ode Wuna dikisahkan sebagai seorang sakti, namun memiliki tubuh yang tidak sempurna, yakni selain kulitnya bersisik ia juga memiliki ekor ular. La Ode Muna sendiri menurut sejarah maupun tutur masyarakat, adalah seorang putra dari kerajaan Muna.
Menurut tradisi Kapata La Ode Wuna La Ale sampai ke negeri Seram karena dibuang oleh orang tuanya yang juga Raja Muna karena melakukan kesalahan.
Selanjutnya di negeri Seram ia mendirikan kerajaan yang diberi nama Sahulau. Dalam tradisi tutur kapata, dikisahkan La Ode Muna merupakan adik dari La Kilaponto Raja Buton ke V dan Sultan Buton I yang bergelar Murhum (abad XVI M).
Diceritakan kembali dengan sedkit penyuntingan dari artikel Saudara ‘Willy’ dalam blog pribadinya di multyplay.com dengan judul aslinya “ Sejarah Sahulau “

Minggu, 21 Agustus 2011

Kota Wuna Kampung Leluhur

Kubah La Posasu tenang dalam irama
senja Masjid Muna
pudar dalam guyuran kabut pagi-pagi
dalam narasi kantola selepas panen
tenggelam pada cerita-cerita Omputo
tentang beribu karang yang membisu menggantung tanda tanya
mencipta relief-relief zaman
pengulang sejarah Nyiur berbisik dalam desau angin
risih daun jati yang ranggas oleh masa
mengusik perbincangan sepasang si
Kontu Kowuna
tentang deras air bukit karang yang
dirindu dan neon redup ketika mendung
yang tak pernah terselesaikan oleh
janji Sawerigadi membisu dalam beribu
rahasia
pusara- pusara tua bernostalgia
menyanyikan rindu yang mulai menua
berkawan dalam temaram beribu
mitos yang tak pernah kami tau maknanya Pagi yang mewartakan matahari
malu-malu bergelayut dalam ramai
kabut perkampungan pinggir laut
menyesaki rumah-rumah penduduk
mendesak panorama mimpi semalam
bercerita tentang puisi-puisi malam, tentang serangga di rerumput
halaman yang mati di ujung tembilang
tantang lagu-lagu yang dikisahkan
bersama merah sirih di bibir nenek
dalam kenangan yang makin matang
di terik siang Tapak berlomba menghitung jejak
menapaki batu karang, tanah merah
penyaksi silsilah Perkampungan Kota Wuna tanah
leluhur
dalam usia yang semakin udzur
tertanam harapan pada bau basah
pepohonan
pada gunung-gunung yang ramah menyapa
kami hanya mengenangmu dalam
masa lalu * La Posasu : raja VIII Kota Muna yang
mendirikan Masjid Muna
Kantola : nyanyian khas masyarakat
Kota Wuna saat acara panenenan
Omputo : raja
kontu kowuna (bahasa muna): batu berbunga
Sawerigadi :nama pelayar Luwuk
yang kapalnya terdampar di pantai
timur laut Kota Muna

Napabale di Hubungkan Terowongan Alam

RAHA-Napabale adalah danau
pemandian air asin ini terletak
diantara Desa Wabantinggi dan Lohia,
sekitar lima belas kilo meter di selatan
Kota Raha, Kabupaten Muna, Sulawesi
Tenggara. Air danau sedalam satu setengah meter di saat surut, amat
jernih dan berwarna kehijauan.
Berada dibalik sebuah dinding
perbukitan kapur, Danau Napabale
dihubungkan dengan laut terbuka
oleh sebuah terowongan alam. Terowongan ini bisa ditelusuri dengan
perahu pincara, ketika air laut surut.
Terowongan sepanjang tiga puluh
meter dengan lebar sembilan meter
ini, menjadi jalur tetap para nelayan,
saat berangkat atau pulang melaut. Konon pada abad kelima belas,
seorang gadis yang amat cantik,
ditemukan di dalam terowongan ini,
tanpa diketahui asal usulnya. Dia
akhirnya dijadikan permaisuri oleh
raja. Nama Napabale sendiri berasal dari kata tempat pelabuhan perahu-
perahu yang mengangkut daun
pandan duri.
Beberapa kilometer dari Napabale,
ada sebuah situs purba yang terletak
di ketinggian bukit kapur. Untuk menuju ketempat ini dibutuhkan
usaha dan fisik yang kuat. Jalan
setapak sepanjang lima kilo meter,
tebing-tebing curam dan pucuk-
pucuk karang yang tajam, menjadi
tantangan, yang sungguh menggelitik untuk dicoba.
Di atas sana, pada ketinggian dua
ratus delapan puluh enam meter di
atas permukaan laut, Gua Layang-
layang tersembunyi dalam celah yang
sepi. Gua yang lebih menyerupai ceruk ini masih menyimpan lukisan
karya manusia purba ribuan tahun
lalu.
Napabale dan gua prasejarah
memang menarik. Namun menurut
orang Muna, perjalanan belum afdol, jika tidak mengunjungi Kota Muna tua.
Yang disebut Kota Muna tua ini,
hanyalah sebuah desa dilembah yang
dikelilingi perbukitan.
Desa yang terkesan ditinggalkan ini,
terletak sekitar tiga puluh kilo meter dari Kota Raha, yang menjadi ibu kota
Kabupaten Muna sekarang. Seperti
sebagian besar wilayah di Pulau Muna,
kota tua ini tidak memiliki sumber
mata air, sehingga tampak kering dan
tanahnya merah. Bicara Kota Muna tua, orang tidak bisa
lepas dari cerita rakyat mengenai
kapal Saweri Gading. Dari ketinggian
batu Saweri Gading yang berada
delapan puluh meter dari atas tanah,
tersedia pemandangan indah dengan Kota Muna tua di kejauhan.
Bongkahan batu besar ini terdiri dari
dua bagian yang dipercaya sebagai
bekas palka, dan satunya lagi bekas
haluan. Dari atas terdapat jalan sempit
yang menuju ke lorong-lorong di dalam batu, yang ternyata berongga.
Orang Muna percaya, rongga yang
terbagi-bagi atas beberapa ruang
sempit itu, merupakan bekas kamar-
kamar yang kini telah membatu.
Menurut cerita orang Muna, kapal Saweri Gading terdampar di tempat
sekarang berada. Dikisahkan hanya
ada tiga puluh orang awaknya yang
selamat. Ketiga puluh orang ini
dipercaya sebagai manusia pertama
yang menghuni Pulau Muna. Lima ratus meter dari kapal Saweri
Gading, ada tiga bongkahan batu
yang disebut Kontu Kowuna. Atau
batu berbunga. Konon dari sinilah
nama Kota Muna berasal. Muna semula
berasal dari kata Wuna yang artinya bunga.
Seperti namanya, bongkahan batu
padas ini memang dipenuhi oleh
sejenis rumput berwarna putih tulang,
sehingga dari jauh bongkahan padas
tersebut terkesan berbunga. Konon batu berbunga ini dipercaya
memiliki kesaktian, sehingga setiap
prajurit Muna yang hendak berangkat
berperang, selalu datang mengambil
sebongkah sebagai jimat.
Konon dengan membawa bongkahan padas berumput ini dan menyebut
nama Kontu Kowuna, para prajurit ini
pasti selamat dan selalu kembali. Kini
setelah ratusan tahun berlalu, orang
Muna masih tetap mempercayai
kesaktian Kontu Kowuna. Banyak kisah indah di balik benda-
benda diam ini. Terbawa oleh jaman,
tanpa perubahan. Tersembunyi
diantara semak dan dinding-dinding
batu kapur Pulau Muna. Keindahan
yang hanya dapat didekati oleh mereka, para penggali masa lalu.
Petualang-petualang dengan rasa
ingin tahu dan kemauan yang sama
kuatnya.(int)

Muna Bukan Hanya Jati

Pada sebuah kapal. Di frasa itulah
kisah tentang manusia Pulau Muna,
pulau di tenggara kaki kiri Sulawesi,
diperkirakan bermula. Ketika
Sawerigading, tokoh asal Kerajaan
Luwu Purba di Sulawesi Selatan yang melegenda (dalam epik I La Galigo),
sedang mengembara mencari
kekasihnya sebagai pengganti
saudari kembarnya yang terlarang
untuk dinikahi, We Tenriabeng,
perahunya terdampar di sebuah gundukan daratan setelah
menabrak batu karang.
Sawerigading terus melanjutkan
perjalanan ke negeri Cina,
sedangkan para awak kapalnya,
yang berjumlah 40 orang, kemudian membuat koloni di pulau yang
didominasi batuan kapur itu.
Oleh mereka, daerah tempat
terdamparnya kapal itu kemudian
dinamai Bahutara, yang berarti
bahtera. Karena di daerah berbatuan karang itu secara ajaib sering
tumbuh bunga-bunga yang indah
pada musim-musim tertentu,
dinamailah oleh mereka daratan
pulau itu sebagai Kontu Kowuna,
dengan kata kontu yang berarti batu dan wuna yang berarti bunga.
Lambat laun, Wuna berubah lafal
menjadi Muna, dan para pengikut
Sawerigading yang terdampar
menamai diri mereka sebagai suku
Muna, dan daratan berbatu serta berpasir itu mereka sebut Muna.
Kisah itu saya dengar di atas kapal
Sagori Express yang sedang melaju
di Laut Banda, di pesisir timur
Konawe Selatan, menuju Pulau Muna
dari tuturan Ali Musthapa. Pak Mus-- begitu saya memanggilnya--pria 40
tahunan, adalah penduduk asli
Muna. Ia pegawai negeri di salah
satu instansi di Raha.
Ini akhir Mei 2008 yang panas, dan
perjalanan tiga setengah jam dari Pelabuhan Nusantara di Teluk
Kendari seolah mengantar saya ke
dinamika panjang pulau yang
terkenal dengan sejarah kerajaan
berabad-abad, kolonialisme Hindia
Belanda, komoditas jati nomor satu, peninggalan prasejarah berupa cap
tangan dan gua-gua manusia
purbakala, danau-danau air asin di
daratan, festival layang-layang,
sampai atraksi adu kuda.
Perjalanan yang sungguh tidak membosankan karena saya dapat
menikmati hijaunya pulau-pulau
kecil membukit yang tersebar di kiri-
kanan, permukiman penduduk di
rumah panggung atas air laut yang
biru cerah, serta awan yang menembuskan sinar matahari secara
indah.
Muna adalah toponim sebuah pulau
(dan identitas etnis). Tapi anehnya,
secara administratif, Pulau Muna
dibagi menjadi dua kabupaten: Kabupaten Muna di wilayah utara
pulau dan Kabupaten Buton di
wilayah selatan pulau. Begitu juga
dengan pulau di sebelah timurnya,
Pulau Buton, yang juga dibagi
menjadi tiga: bagian utara Kabupaten Muna serta bagian
selatan Kota Bau-bau dan Kabupaten
Buton.
Mengapa tidak dibagi mengikut
nama pulau saja? Menurut Pak Mus,
jawaban untuk itu terkait dengan sejarah panjang Kesultanan Buton
dan pembagian wilayah administratif
sewaktu pemerintah kolonial
Belanda berkuasa di jazirah pulau-
pulau, mulai Pulau Tobea di Selat
Spelman (nama yang berasal dari nama pemimpin VOC di Sulawesi
bagian selatan pada abad ke-18) di
barat Pulau Muna sampai di
Kepulauan Tukang Besi, yang
terkenal sebagai surga wisata bawah
laut Wakatobi (akronim dari Pulau Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan
Binongko).
Tak terasa, feri cepat ini telah
mendekati Pelabuhan Raha di Raha,
ibu kota Kabupaten Muna, seluas
488.700 hektare yang terletak di bagian timur Pulau Muna. Waktu
menunjukkan pukul 17.05 Wita.
Karena itu, matahari masih bersinar
walau telah jauh di ufuk barat dan,
jika dilihat dari pelabuhan, hampir
menyentuh bukit-bukit di pedalaman pulau.
Dari kapal yang hampir merapat itu,
deretan rumah tampak jelas
terbentang mengikuti pinggir pulau.
Di sebelah kanan pelabuhan, sejauh
mata memandang yang terlihat adalah deretan rumah beratap seng,
yang ternyata merupakan
perkampungan suku Bajo (sering
juga dilafalkan Wajo) hasil buatan
pemerintah sebagai usaha
memukimkan mereka yang sangat terkenal sebagai suku Gipsi Laut di
sepanjang perairan Sulawesi, pesisir
timur Kalimantan, hingga pulau-
pulau kecil di utara Nusa Tenggara.
Ada juga pohon-pohon bakau yang
tinggal pokok dan rantingnya, sudah hampir mati. Sampah plastik
tersebar di antara batu-batu kecil di
bawah talud reklamasi pantai sekitar
pelabuhan.
Di pelabuhan, saya dan Pak Mus
berpisah. Saat bersalaman, ia memberi tahu tiga lokasi yang dapat
dikunjungi jika ingin mengenal Pulau
Muna: Kota Tua Wuna, Liang Kobori,
dan Danau Napabale. Yang pertama
jika ingin menangkap suasana masa
lalu Muna, yang kedua jika hendak bersentuhan dengan dunia manusia
prasejarah, dan yang terakhir jika
akan melihat indahnya alam di Pulau
Muna. Pada pagi hari berikutnya, saya pergi
ke kota tua Muna, yang terletak 30
kilometer dari Raha, dengan
menggunakan jasa ojek, moda
transportasi yang sungguh banyak
berseliweran di Raha. Inilah moda utama, karena kendaraan roda
empat (angkot) tidak ada,
sedangkan taksi hanya ada delapan
unit milik pemerintah daerah.
Dari sebuah literatur, saya tahu, pada
zaman Raja Lakilaponto sebagai Raja Muna VII (1538-1541), jika hendak
memasuki Kota Muna, rakyat biasa
harus berjalan kaki. Yang boleh
berkuda hanya para pejabat istana.
Ada benteng yang mengelilingi kota
sepanjang sekitar 8.000 meter dengan tinggi empat meter dan tebal
tiga meter, dan dibangun dengan
bantuan roh halus karena sang raja
sakti mandraguna. Terbayang
kemegahan suatu kota, dengan tata
pemerintahan teratur, aktivitas perdagangan yang ramai, keamanan
yang terjamin dari para bajak laut
yang ganas di perairan Bau-bau di
Pulau Buton, yang terkenal sebagai
tempat singgah teramai jalur selatan
Sulawesi menuju kawasan Maluku dan Papua.
Sampai berabad-abad kemudian,
Muna adalah kerajaan berdaulat dan
bertetangga baik dengan Kesultanan
Buton, yang ber-Ibu Kota Bau-bau.
Namun, dengan keluarnya Korte Verklaring pada 2 Agustus 1918,
semua itu berubah karena
pemerintah kolonial Belanda hanya
mengakui dua pemerintahan
swapraja di Sulawesi Tenggara,
yakni Swapraja Buton dan Laiwoi di Kendari. Sejak saat itulah Kerajaan
Muna dinyatakan sebagai daerah
bawahan Kesultanan Buton. Dari
beban masa lalu inilah, dan letak
geografis pusat-pusat Kerajaan Muna
dan Kesultanan Buton, saya bisa membayangkan mengapa batas
administrasi modern kedua
kabupaten ini tidak serta-merta
mengikuti pulau masing-masing.
Saat ini, tidak ada lagi kemegahan
kota pusat kerajaan, bahkan Pak Siad Awaluddin, penduduk asli
Muna, yang sempat saya tanyai pun,
tidak lagi tahu perkiraan letak istana
dan benteng monumental itu secara
pasti. Yang masih bisa dilihat
hanyalah masjid yang dibangun oleh Raja Muna terakhir, yakni Raja La
Titakono, pada abad ke-17. Saya
lihat bentuk masjid di bekas ibu kota
kerajaan itu sangat sederhana.
Walau sudah merupakan bangunan
yang dipugar, masjid itu masih memperlihatkan ciri aslinya,
termasuk tempat dudukan
kubahnya yang terbuat dari kayu.
Selepas dari situ, perjalanan berlanjut
ke Liang Kobori, sebuah gua
arkeologis di Desa Liang Kobori, Kecamatan Lohia, yang memuat
goresan atau guratan-guratan dari
zaman prasejarah. Jarak Liang
Kobori ini kira-kira 10 kilometer dari
Raha. Dari balai desa, saya masih
harus berjalan kira-kira 400 meter lagi, melewati tebing-tebing tinggi.
Memasuki gua itu, terasa suasana
yang berbeda, mungkin karena
kelembapannya. Di kanan-kiri gua
yang kira-kira setinggi empat meter
itu, beberapa bentuk abstrak dengan warna merah pucat menyatu
dengan dinding batu kapur. Ada
bentuk memanjang yang
menyerupai daun pisang, ada
bentuk yang menyerupai hewan
(seperti babi atau kambing), bahkan bentuk manusia abstrak dengan
kepala, tangan, badan, dan kaki.
Tapak tangan juga ada. Saat keluar,
saya baru sadar bahwa bentuk
hewan itu bukan babi atau kambing,
melainkan anoa! Saya tidak sempat menghitung
berapa banyak lukisan dinding dan
berapa motif yang tergambar, dan
mengapa umumnya berwarna
merah. Apalagi data arkeologis
mengenai Liang Kobori ini sangat sedikit, berbeda sekali dengan Gua
Leang-leang (Kabupaten Maros) atau
Garunggung (Kabupaten Pangkep)
di Sulawesi Selatan, atau bahkan Gua
Marang atau Liang Tengkorak di
Kalimantan Timur. Atau bahkan apa maknanya mitologisnya, selain
beberapa gambar yang sekilas
mencirikan keseharian mereka,
misalnya berburu. Mungkin sebagian
di antara gambar tangan ini juga
mencirikan perasaan berkabung karena ada anggota keluarga yang
meninggal seperti diteliti para ahli di
Gua Leang-leang ataupun sebagai
medium yang menghubungkan ke
dunia arwah orang mati. Entahlah.
Saat keluar dari Liang Kobori, saya teringat penjelasan seorang teman
dosen arkeologi dari Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Gadjah Mada
bahwa situs arkeologis sejenis akan
mencirikan penyebaran manusia
prasejarah zaman Mesolitikum. Memang, dari berbagai temuan,
sebaran situs sejenis hanya
ditemukan di Borneo bagian utara,
turun ke tengah Pulau Kalimantan,
lalu ke Sulawesi, Kei, Seram, dan
kemudian ke Papua bagian selatan. Jarang ditemukan di wilayah barat
Indonesia. Bocah-bocah bertelanjang dada
melompat dari pinggir danau yang
kebiruan, lalu berenang mendekati
perahu yang terapung sedikit di
tengah. Gembira, berteriak, tertawa,
seakan mereka adalah penghuni penjara yang tahu pasti besok pagi
mereka akan bebas dan lepas
menuju hari-hari yang lebih cerah. Di
langit, awan-awan dipahat angin
lembut membentuk gambar-gambar.
Itulah catatan harian yang saya tulis mengenai Danau Napabale, 15
kilometer dari Raha, juga masih di
Kecamatan Lohia, yang lokasi
pastinya berada di Desa Lohia.
Berbeda dengan Kota Tua dan Liang
Kobori, yang lebih mencirikan kerja manusia, di Danau Napabale, yang
mempunyai luas kira-kira 5 hektare,
saya menelusuri kerja alam.
Beberapa pulau karang kecil tampak
di tengah danau, seperti atol yang
ditumbuhi pepohonan di bagian atasnya; dari kejauhan seperti apel
yang telah digigiti secara melingkar
dengan cekungan-cekungan di
batuan karang berlubang. Inilah
hasil kerja ajaib proses geomorfologi
ribuan tahun di pulau yang sebagian tanahnya berkapur ini. Bisa
dikatakan bahwa Napabale adalah
laguna karst yang terisolasi.
Danau air asin. Bukan pantai. Tidak
ada pasir di sini. Tidak ada angin
lautan yang kejam mengiris. Tidak akan ada debur dan buih putih.
Hanya tenang. Senyap. Dan warna
cyan yang hening. Air laut masuk
lewat lubang di batu karang. Jika
surut, perahu lewat, lalu menembus
laut, langsung ke Selat Buton. Pulau Muna bukan hanya kayu jati,
tapi kayu jati masih jadi penanda
kota. Kesimpulan itulah yang saya
ambil ketika kembali berada di
Pelabuhan Raha untuk balik ke
Kendari. Di pelabuhan, kapal pengangkut jati ke Surabaya telah
merapat, dan beberapa kayu jati
gelondongan sedang ditarik naik ke
dek kapal. Ada satu area kira-kira
seluas tiga perempat lapangan sepak
bola yang digunakan sebagai penampungan kayu-kayu jati yang
siap diangkut. Dari petugas tiket,
saya mendapat informasi bahwa
aktivitas perdagangan jati inilah
yang turut meramaikan kehidupan
di Pulau Muna, ditandai dengan merapatnya banyak kapal besar
pengangkut beberapa kali dalam
sebulan. Tidak jauh dari situ, ada
Tugu Jati Emas yang menjulang
sekitar 15 meter sebagai tetenger
Raha, sebagai ibu kota Muna, ibu kota jati Sulawesi. Tapi, di balik itu,
karena penanaman kembali yang
tidak konsisten, keberadaan jati
Muna yang siap tebang terancam.
Bahkan ditengarai, luas hutan jati
telah menyusut, hanya kira-kira seperdelapan dari luas sebelumnya,
yang sempat 45 ribu hektare pada
1968.
Ketika kapal telah melepas tambatan,
di antara buih ombak di buritan
kapal, saya sadar bahwa masih banyak pesona wisata di Pulau Muna
yang belum ternikmati: festival
layang-layang tradisional (terbuat
dari daun kolope atau ubi hutan,
rami, dan benang dari serat daun
nanas hutan); Kaghati, desa tenunan tradisional di Masalili, atau atraksi
adu kuda yang sudah sangat jarang
dilakukan.
Muna memang bukan hanya kayu
jati.

Tradisi Karia

Dalam adat suku Wuna (Muna), setiap anak perempuan yang akan memasuki usia remaja diwajibkan menjalani tradisi pingitan (Karia) selama empat hari empat malam atau dua hari dua malam, tergantung kesepakatan antara penyelenggara Karia dengan pomantoto. Tradisi ini bertujuan untuk membekali anak- anak perempuan dengan nilai-nilai etika, moral dan spiritual, baik statusnya sebagai seorang anak, ibu, istri maupun sebagai anggota masyarakat. Sesuai proses pingitan, diadakanlah selamatan dengan mengundang sanak keluarga, kerabat
dan handai taulan. Dalam prosesi selamatan ini digelar Tari Linda yang menggambarkan tahap-tahap kehidupan seorang perempuan mulai dari melepaskan masa kanak-kanak lalu memasuki masa remaja, kemudian
masa dewasa dan siap untuk mengarungi bahtera rumah

Layangan Tradisonal "KAGHATI"

Kabupaten Muna terkenal dengan layangan tradisionalnya. Layangan ini terbuat dari bahan-bahan alami yaitu dari daun kolope (ubi hutan), bamboo
rami dan benang dari serat daun nenas hutan. Untuk menghubungkan bahan satu dengan lainnya digunakan bahan penisik dari kulit bambu yang diruncingkan. Sebagai penyeimbang layangan, digunakan dua bandulan pada kiri kanan sayap layanan menggunakan kayu berukuran kecil. Layangan tradisional Muna ini telah mendapat peringkat sebagai layangan paling alami. Di tahun 1996 dan 1997, layangan tradisional Muna ikut serta sebagai salah satu peserta pada kompetisi layangan bertaraf internasional.

TENUNAN TRADISIONAL DI DESA MASALILI

Desa Masalili terletak ± 8 km dari Kota Raha. Sebagian besar penduduknya hidup dari usaha menenun kain secara tradisional. Cara menenun ini telah diwariskan sejak ratusan tahun yang lalu secara turun temurun. Kain tenunan ini terdiri atas berbagai macam corak dan warna yang memiliki seni dan budaya Muna. Sehelai kain dapat digunakan sebagai sarung adat atau dimodifikasi menjadi stelan busana dan berbagai macan souvenir.

ATRAKSI ADU KUDA

Mungkin Pulau Muna adalah satu- satunya tempat di dunia di mana anda dapat menyaksikan adu kuda jantan yang memperebutkan kuda betina yang sangat seru dan memukau yang sering dilakukan pada setiap perayaan yang melibatkan masyarakat. Pertarungan diawali dengan menukarkan betina dari masing-masing kuda jantan oleh seorang pawang guna membangkitkan emosi dari masing- masing kuda jantan. Seiring dengan bangkitnya emosi, kedua kuda jantan tersebut saling menerjang dengan kaki depan terangkat, leher tegak, geraham gemeretak dan moncong saling memagut mencari sasaran serangan. Suatu atraksi yang cukup mendebarkan, mencekam, menantang sekaligus menyenangkan. Dalam filosofi suku Muna, atraksi kuda mengandung makna bahwa hak dan tanggung jawab adalah segala- galanya, walaupun nyawa jadi taruhannya. Filosofi inilah yang dianut dalam kehidupan masyarakat suku Muna yang secara formal diabadikan pada lambang Daerah Kabupaten Muna.

GUA LIANGKABORI

Liang Kobori yang berarti “Gua Bertulis” merupakan sebuah gua dengan lebar 30 meter dan tinggi bervarisi antara 2 sampai dengan 5 meter serta memiliki total kedalaman sekitar 50 meter. Gua ini menyimpan berbagai misteri kehidupan masyarakat prasejarah suku Muna yang tergambar pada 130 situs aneka goresan berwarna merah pada dinding gua bagian dalam. Goresan- goresan tersebut masih tetap terjaga keasliannya, terutama bentuk dan kecermelangan warnanya yang hingga saat ini masih merupakan sebuah misteri tentang bahan tinta yang digunakan. Misteri peninggalan sejarah ini menanti kedatangan wisatawan yang gemar terhadap penelitian kepurbakalaan serta penjelajahan keaslian alam.

ASAL USUL PULAU MUNA

Muna pada awalnya dikenal dengan nama ‘WUNA’.yang dalam Bahasa Muna berti bunga. Nama itu memberi makna spiritual kepada kejadian alamnya,dimana terdapat gugusan batu yang berbunga. Gugusan batu tersebut menyerupai batu karang. Pada waktu-waktu tertentu batu karang dimaksud kerap mengeluarkan tunas-tunas yag tumbuh seperti bunga karang. Oleh karena kejadian itulah maka masyarakat Muna menyebutnya sebagai ‘Kontu Kowuna’ artinya Batu Berbunga . Gugusan batu berbunga tersebut terletak di dekat Masjid tua Wuna di Kota Muna yang bernama bahutara ( bahtera?). Tempat dimana Kontu Kowuna tersebut berada dipercaya sebagai tempat terdamparnya kapal Sawerigading, Putra Raja Luwu di Sulawesi Selatan Yang melegenda. Saat ini, Muna dikenal sebagai nama sebuah Pulau yang terletak pada posisi 4006’ samapi 5015’ lintang Selatan dan 12208’ – 123015’ bujur timur, tepatnya diantara Pulau Sulawesi dibagian Tenggara, Pulau Buton di bagian Timur dan Pulau Kabaena di Sebelah Barat. Selain nama Pulau, Muna juga menjadi nama salah satu Kabupaten dari 12 Kabupaten/ Kota yang ada di Sulawesi Tenggara dengan batas-batas administrasi; 1. Di Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Konawe Selatan dan Selat Spelman. 2. Sebelah Selatan dengan Kabupaten Buton. 3. Sebelah Timur dengan Kabupaten Buton Utara dan Kabupaten Buton, 4. Sebelah Barat berbataan dengan Laut Tiworo dan Kabupaten Bombana. Selain itu Muna juga menjadi nama suku yang mendiami Pulau Muna dan sebagian besar Pulau Buton serta pulau-pulau disekitarnya yang menggunakan Bahasa Muna sebagai bahasa tutur diantara mereka. Sebelum menjadi Kabupaten, Muna juga dikenal sebagai sebuah kerajaan yang berkedudukan di Pulau Muna bagian Utara dan Pulau Buton bagian Utara. Pembagian wilayah tersebut dilakukan pada masa Pemerintahan Raja Buton VI Lakilaponto dan Raja Muna VIII La Posasu. Kedua raja tersebut merupakan kakak beradik, Putra dari Raja Muna VI Sugi Manuru. Sebelum menjadi raja Buton VI, La Kilaponto telah menjadi Raja Muna VII sehingga jabatan Raja di kedua kerajaan itu diembannya secara bersamaan selama tiga tahun bersama dengan kerajaan lainnya yakni Kaledupa, Konawe dan kabaena. Namun setelah dilantik menjadi Sultan Buton I ( menyusul perubahan kerajaan buton menjadi Kesultanan ), jabatan Raja di empat kerajaan lainnya yang diembannya selama tiga tahun ( 1538- 1541 M ) diseraahkan pada yang berhak untuk mengembannya. Di Kerajaan Muna jabatan Raja diserahkan pada adiknya La Posasu, sedangkan dikeraajaan-kerajaan lainnya tidak ada cacaatan sejaarah yang mengisahkan bagaimana proses
penyerahannya dan pada siapa diserahkan. Bersamaan dengan penyerahan kekuasaan di kerajaan Muna , turut pula dibagi wilayah kerajaan sebagaimana dijelaskan diatas. La Kimi Batoa dalam bukunya Sejarah Muna terbitan CV. Astri Raha, menjelaskan pembagian wialayah tersebut karena kecintaan La Kilaponto pada dua wilayah di bagian Selatan Pulau Muna yaitu Gu dan Mawasangka sehingga beliau memohon pada adiknya sekaligus penggantinya sebagai raja Muna La Posasu agar kedua wilayah dimaksud menjadi bagian dari wilayah Kesultanan Buton. Sebagai gantinya, La Kilaponto menyerahkan dua wilayah yang sebelumnya masuk dalam wilayah Kesultanan Buton yang
ada di bagian Utara Pulau Buton yakni Kulisusu dan Wakorumba ( Sebagian wilayah tersebut saat ini menjaadi Kabupaten Buton Utara). Banyak kisah yang menceritakan asal usul Muna Sebagai sebuah pulau, baik itu dalam tradisi lisan dikalangan masyarakat Muna maupun hikayat yang ditulis oleh masyarakat Buton. Namunn secara ilmiah belum ada penelitian yang mengungkap kebenaran cerita-cerita tentang asal usul Pulau Muna tersebut. Kendati demikian tradisi lisan yang hidup dikalangan masyarakatlah dan hikayat yang ditulis oleh masyarakat Buton yang sering dijadikan sebagai referensi dalam menulis sejarah asal usul Pulau Muna dan Pulau Buton.Untuk itu penulis akan menjelaskan satu persatu cerita dan hikayat tersebut. A. HIKAYAT “ ASSAJARU HULIQA DAAARUL BATHNIY WA DARUL MUNAJAT ” Hikayat “Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wa Daarul Munajat”(Hakikat Kejadian Negeri Buton dan Negeri Muna- Buku Tambaga ) mengisahkan bahwa Pulau Muna dan Pulau Buton berasal dari segumpal tanah yang muncul dari dasar laut yang ditandai dengan sebuah ledakan yang maha dasyat. Hikayat tersebut menceritakan bahwa ketika Nabi Muhammad SAW. mengadakan rapat dengan para sahabat, tiba-tiba terdengar sebuah ledakan yang yang sangat keras hinga mengejutkan para sahabat yang lagi mengikuti rapat. Mendengar suara tersebut salah seorang sahabat bertanya pada Nabi Muhammad SAW. apa gerangan yang sedang terjadi. Pertanyaan sahabat itu dijawab oleh Nabi Muhammad SAW bahwasanya disebelah timur telah muncul dua buah Pulau ( Wuna & Buton ) yang mana penghuninya nantinya akan menjadi pemeluk agama Islam yang taat. Olehnya itu diutuslah dua orang sahabat yakni Abdul Sukur dan Abdul Gafur untuk Mencari pulau dimaksud oleh Rasulullah SAW sekaligus menyebarkan agama islam di kedua pulau tersebut. Dalam pencarian sebuah negeri sebagaimana yang di wasiatkan oleh Rasulullah SAW, kedua utusan tersebut terlebih dahulu menyinggahi beberapa negeri sebelum menemukan dua buah pulau ( ditemukan dalam arti hakiki ) di maksud yaitu Pulau Wuna - ( Muna ) dan Pulau Buton. Setelah kedua utusan tersebut menemukan negeri dimaksud ,maka ditancapkanlah sebuah bendera. Selain menancapkan bendera, kedua utusan tersebut juga memberikan nama pulau yang telah ditemukan yaitu Butuuni dan Munajat yang artinya Perut bumi dan Kesejahteraan. Kisah seperti yang diceritakan hikayat “Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wa Daarul Munajat” mengenai asal mula Pulau Muna dan Pulau Buton diatas secara ilmiah tidak dapat- dipertanggungjawabkan, sebab masa kerasulan Nabi Muhammad SAW di mulai setelah beliau berusia 40 tahun atau sekitar tahun 600-an M. jadi kalau mengacu pada buku “Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wa Daarul Munajat” berarti umur pulau Muna dan
Pulau Buton baru sekitar 1400 tahun. Intinya Buku tambaga hikayat Assjaru
Huliqa Darul bathniy Wa Darul Munajat bukanlah teks sejarah tentang asal usul pulau Muna dan Pulau Buton. Hikayat Assajaru Huliqa Darul bathniy Wa Darul Munajat hanyalah mitos yang memberikan gambaran kebudayaan masyarakat Muna dan Buton. B. TRADISI LISAN MASYARAKAT MUNA Cerita lainya yang mengisahkan asal mula Pulau Muna adalah seperti yang dituturkan dalam tradisi lisan masyarakat Muna. Tradisi lisan tersebut telah menjadi referensi penulis sejarah Muna untuk menceritakan asal mula Pulau Muna, Dalam tradisi lisan itu dikisahkan bahwa Pulau Muna ditemukan oleh Sawerigading pelaut dari kerajaan Luwu di Sulawesi Selatan dan pengikutnya sebanyak 40 orang.Mereka itu terdampar di sebuah
wilayah yang saat ini bernama BAHUTARA ( Bahtera?). Terdamparnya Kapal Swaerigading tersebut akibat munculnya pulau dari dasar laut. Bukti terdamparnya kapal sawerigading tersebut adalah adanya sebuah bukit yang menyerupai sebuah kapal lengkap dengan kabin- kabinnya. Bukit yang menyerupai kapal tersebut diyakini oleh masyarakat Muna sebagai fosil dari Kapal Sawerigading yang terdampar tersebut. Ditutur kan pula pengikut Sawerigading yang berjumlah 40 orang tersebut kemudian menjadi cikal bakal masyarakat Muna. Bukti lainya yang menguatkan keyakinan masyarakat Muna terhadap kebenaran tradisi lisan yang telah hidup berates-ratus tahun dikalangan masyarakat muna adalah adanya sebuah bukit karang yang mana pada waktu-waktu tertentu mengeluarkan bunga yang mirip dengan bunga karang. Bukit batu yang juga terletak di Bhahutara tersebut di namakan “Kontu Kowuna”yang artinya batu berbunga. Bukit batu yang mengeluarkan bunga
tersebutlah konon sebagai asal usul penamaan Pulau dan Kerajaan ‘Wuna’ Walaupu tradisi lisan masyarakat Muna tersebut dapat dijelaskan secara ilmiah, khususnya tentang awal terjadinya Pulau Muna namun tidak dapat dikatakan sebagai sejarah asal usul terjadian Pulau Muna karena dibumbui dengan mitos dan kisah- kisah luar biasa. Jadi tradisi lisan masyarakat Muna tentang asal usul Pulau muna juga belum dapat dikatakan sebagai sejarah asal usul Pulau Muna, untuk itu perlu ada penelitian yang lebih mendalam lagi untuk membuktikan kebenaranya secara ilmih. C. EPIK I LAGALIGO Cerita yang memiliki kemiripan dengan tradisi lisan masyarakat Muna tentang asal usul Pulau Muna adalah epic I La galigo. Epic itu mengisahkan bahwa Sawerigading adalah seorang pelaut yang tangguh. Dia melakukan penjelajahan samudera setelah bersumpah untuk tidak kembali di negerinya ( Luwu) karena ditentang rencananya untuk menikahi Wa Tendriyabe yang ternyata saudara kembarnya. Dikisahkan dalam epik tersebut bahwa menurut adat masyarakat Luwu hubungan antara Sawerigading dan Wa Tanriabeng ( Saudara kembar ) tidak dibolehkan. Olehnya itu keduanya harus dipisahkan. Tokoh dari kedua pada tradisi lisan masyarakat Muna dan Epic I La galogo memiliki kesamaan nama. Demikian pula dengan peranannya. Baik tradisi lisan masyarakat Muna maupun Epik I Lagaligo mengakui bahwa Sawerigading adalah seorang Pelaut. Penyebutan nama yang diawali dengan ‘La’ bagi laki-laki masyarakat Muna memiliki kemiripna dengan penyebutan nama orang laki-laki pada suku Bugis. Hal ini dapat menjadi bukti bahwa sangat besar kemungkinannya Sawerigading pernah singgah ( terdampar) di pulau Muna. Hal ini diperkuat oleh DR. Anhar Gonggong sebagai mana kutipan berikut : “ Pemerintah pertama Muna yaitu Beteno Netombula juga dikenali sebagai Baidul Zamani adalah keturunan Sawerigading. Terdapat juga kisah lain yang mengatakan bahwa pemerintah pertama berasal dari Jawa, kemungkinan dari Majapahit. Permaisurinya bernama Tendiabe. Nama ini mirip dengan nama We Tenyirabeng, nama yang di dalam kisah La Galigo, yang menikah dengan Remmangrilangi’, artinya, ‘Yang tinggal di surga’. Ada kemungkinan Tendiabe adalah keturunan We Tenyirabeng. Pemerintah kedua, entah anak kepada Beteno Netombula atau Tendiabe atau kedua-duanya, bernama La Patola Kaghua Bangkano Fotu”. ( La Galigo, Menelusuri Warisan Sastra Dunia– DR. Anghar Gonggong) Tapi apakah terdamparnya kapal Sawerigading tersebut merupakan awal dari munculnya Pulau Muna? Hal ini juga perlu penelitian yang lebih mendalam lagi. D.RELIEF DI LIANGKOBORI DAN METANDUNO DAN MUSEUM KARTS INDONESIA Asal usul keberadaan Pulau Muna yang dapat dijelaskan secara ilmiah karena telah melalui penelitian ilmiah adalah seperti yang dapat dilihat pada panel monitor museum karts Indonesia yang terletak di Desa Gebangharjo, Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Dari panel tersebut kita dapat mengetahi bahwa Pulau Muna hampir seluruhnya tersusun oleh batu gamping berumur Pleistosen (sekitar 1,8 juta tahun yang lalu). Batu gamping ini diperkirakan dari Formasi Wapulaka, seperti terlihat pada tebing-tebing batu gamping ( Karts ) di sepanjang pantai. Batu gamping ini merupakan terumbu karang yang terangkat dan sekarang membentuk kawasan kars yang luas.( Museum Karts Indonesia ). Itu artinya bahwa pulau Muna sebelumnya adalah terumbu karang yang ada didasar lautan, namun karena desakan dari bawah maka terumbu karang tersebut muncul dipermukaan dan menjadi sebuah pulau. Bukti kuat dari itu adalah sebuah wilayah disekitar Kota Muna lama dimana ada hamparan batu karang yang pada saat-saat tertentu mengeluarkan tunas-tunas seperti terumbu karang didasar laut, namun warnanya agak berbeda yaitu putih. Tempat itu dikenal dengan Kontu Kowuna yang artinya batu berbbunga. Selain data yang tersimpan pada museum karts Indonesia, yang telah diteliti seecara ilmiah adalah relief yang ada di gua Liangkobori dan gua Metanduno. Relief yang terdapat di dinding gua tersebut menggambarkan kehidupan dan peradaban masyarakat Muna pada jaman purba. Relief tersebut menurut beberapa penelitian telah berumur lebih dari 25.000 tahun. Itu artinya bahwa jauh sebelum itu Pulau Muna telah ada dan telah di huni oleh manusia.